diposting oleh : Kyai ANU |
Ada orang mudah mencari harta, dia kaya-raya,
tetapi tidak berkah. Hatinya selalu gundah, penyakit datang tiap saat.
Sementara itu, ada orang yang setiap hari hanya mampu makan dan minum saja.
Tidur bahkan hanya di atas becak. Namun Allah subhanahu Wata’ala selalu
memberinya kesehatan, jauh dari sakit dan jauh dari kegelisahan batin.
Karena itu dalam Islam, kaum Muslim dianjurkan
mencari keberkahan (barakah). Berkah (barokah). Dalam kamu Al Munawwri, barakah (البركة) artinya adalah “karunia
Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.” Sedang menurut Imam
al Ghazali, berkah artinya ziyadatul khair, “bertambah-tambahnya
kebaikan”.
Di bawah ini empat kunci meraih keberkahan hidup.
Takwa. Sebagian orang, takwa itu masih
dinilai abstrak. Meskipun dalam beberapa ayat, teknik operasionalnya cukup
jelas. Seperti takwa pada ayat 133 dan 144 Surah Ali Imran, operasionalnya
cukup jelas. Tetapi, dalam konteks keuntungan yang langsung diperoleh dalam
kehidupan dunia, kejelian berpikir memang sangat diperlukan.
Operasional takwa pada ayat di atas di antaranya
adalah tetap membelanjakan (infaq) harta bendanya di jalan Allah baik dalam
kondisi lapang maupun sempit. Infaq dalam kondisi lapang, mungkin tidak seberat
kala dalam kondisi sempit (amat berhajat terhadap harta). Tetapi, jika ingin
sampai pada derajat takwa, keduanya mesti diupayakan.
Muslim yang mau berpikir, tentu akan menggali
hikmah di balik diberlakukannya perintah yang sepintas cukup memberatkan
ini. Mari kita kupas perlahan-lahan.
Kalau diperhatikan, setiap akhir pekan, warga ibu
kota dan warga kota-kota besar di negeri ini (dominan kaum hawa) sangat
gemar kongkow atau shopping di mall.
Mall bak rumah kedua yang amat membahagiakan hati
mereka. Apa pasal, diskon, sale dan obral komoditi yang mereka sukai, sehingga
berada di mall meski akan menguras tabungan, tetap mereka lakukan dengan senang
hati.
Sedangkan takwa, tidak sependek berbelanja di mall
yang lagi obral diskon dan hadiah. Tetapi, secara logika, pengamalan takwa
secara sungguh-sungguh akan mendatangkan keuntungan tak terkira, yang bukan
saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Tetapi, lagi-lagi di sini diperlukan
kejelian atau tepatnya kedalaman berpikir, sehingga ada kekuatan untuk terus
sabar dan istiqomah dalam menjalani kehidupan ini dengan takwa.
Shalat. Manivestasi iman paling dasar
yang akan membuat ketakwaan seorang Mukmin terpelihara adalah shalat. Shalat
secara fisik dalam tinjauan medis, ternyata memberikan dampak signifikan bagi
kesehatan tubuh. Padahal, shalat di sisi yang lebih inti, merupakan media
komunikasi setiap hamba dengan Alah Ta’ala.
Posisi sujud misalnya. Gerakan menungging dengan
meletakkan kedua tangan, lutut, ujung kaki, dan dahi pada lantai itu ternyata
memiliki dampak sangat bagus bagi kesehatan tubuh.
Manfaat: Aliran getah bening dipompa ke bagian
leher dan ketiak. Posisi jantung di atas otak menyebabkan darah kaya oksigen
bisamengalir maksimal ke otak. Aliran ini berpengaruh pada daya pikir
seseorang. Karena itu, lakukan sujud dengan tuma’ninah, jangan tergesa – gesa
agar darah mencukupi kapasitasnya di otak. Postur ini juga menghindarkan
gangguan wasir. Khusus bagi wanita, baik rukuk maupun sujud memiliki manfaat
luar biasa bagi kesuburan dan kesehatan organ kewanitaan.
Manfaat pada gerakan lain, tentu juga tidak kalah
baiknya bagi kesehatan tubuh. Logikanya, semakin sering shalat dilakukan
semakin baik kesehatan kita. Dengan kata lain, kewajiban shalat ini sejatinya
adalah perintah yang Allah berikan kepada kita untuk memenuhi kebutuhan jiwa
raga manusia itu sendiri. Dengan kata lain, siapa enggan shalat apalagi tidak
mau shalat, maka kerugiannya sangat luar biasa.
Sedekah. Sedekah ini empirisnya
terkesan mengurangi aset atau harta. Tapi, hakikatnya tidak. Contoh, seorang
ibu yang merelakan 100 persen daya potensi dan waktunya untuk mendidik
anak-anaknya, hampir pasti akan memiliki anak yang cerdas, kuat dan insha Allah
sholeh dan sholehah. Bandingkan dengan seorang ibu yang tidak memberikan 100
persen daya potensi dan waktunya kepada putra-putrinya.
Demikian pula dengan sedekah. Sedekah itu
mengurangi nominal atau angka, tetapi menambah pada sisi lainnya, yang pada
akhirnya akan berimbas pada penambahan nominal itu sendiri. Abdurrahman bin Auf
memang banyak mengeluarkan sedekah, tetapi sedekah itu pula yang membuatnya kwalahan
menerima keuntungan dalam bisnis yang dijalaninya.
Oleh karena itu, tidak salah jika belakangan muncul istilah Giving is Receiving (memberi itu hakikatnya menerima). Toh, dalam Al-Qur’an, satu sedekah atau infaq Allah janjikan balasan hingga 700 kali lipat (QS. Al-Baqarah [2]: 261). Tentu semua mensyaratkan keikhlasan dan
kebeningan hati dan keseuaian dengan tuntunan Nabi.
Memberi Maaf. Terluka, sakit hati,
setiap orang rasanya pasti pernah mengalami ini. Tetapi, memelihara dendam
ilustrasinya sama dengan orang yang menyimpan bau busuk di lemari pribadinya.
Mustahil kan orang mau melakukan itu?
Tetapi, dendam tidak sama dengan bau busuk.
Kebanyakan orang yang enggan berpikir dan mengedepankan egonya, lebih memilih
dendam daripada iman. Akhirnya tidak mau memaafkan, bahkan kalau bisa cari cara
gimana caranya bisa balas dendam.
Tetapi, bagaimanapun Islam tidak menghendaki
umatnya menjadi pendendam. Dalam soal ini, kita patut bercermin kepada Nabi
Yusuf Alayhissalam. Beliau mengalami derita luar biasa karena sifat iri, dengki
dan hasad saudara-saudaranya. Tetapi, kala Nabi Yusuf menjadi orang dan
saudara-saudaranya datang dalam kondisi tak berdaya, beliau memaafkan mereka
yang pernah menganiaya dan menyengsarakan kehidupan beliau.
Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada
cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah
Maha Penyayang diantara para penyayang” (QS. Yusuf [12]: 92).
Kita bisa lihat, apa pengakuan Allah terhadap sikap
Nabi Yusuf yang jantan memberi maaf itu? Allah menyebut kisah beliau sebagai
sebaik-baik kisah dari sejarah kehidupan umat manusia yang pernah ada di muka
bumi ini.
Tentu, masih banyak amalan lain yang penting yang
juga merupakan bagian dari manivestasi takwa dalam kehidupan dan keseharian
kita, yang jika diamalkan tidak saja akan mendatangkan manfaat baik bagi jiwa
dan raga, tetapi juga pengakuan dari Allah Ta’ala sendiri yang mencptakan kita
ini. Oleh karena itu, selayaknya hidup ini kita orientasikan untuk menjadi
pribadi yang membangun keluarga dan masyarakat yang bertakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar