Kemudian…….
Mencalonkan diri, atau meminta jabatan dalam budaya aktivis muslim yang dididik dalam bingkai tawadhu, zuhud, ikhlas, dan wara’, memang dirasa hal yang tabu, dan tidak biasa. Tetapi, pemahaman seperti ini boleh saja ditata ulang lagi, benarkah mencalonkan diri untuk menjadi pejabat dan pemimpin pasti dan tidak bisa tidak, adalah bermakna ambisius, tidak tawadhu, dan lainnya? Apakah mencalonkan diri pasti menodai keikhlasan? Pada sebagian orang bisa jadi benar, tetapi apakah semuanya seperti itu? Jika sudah seperti ini, maka yang dipermasalahkan adalah sifat kepribadianya-nya. Jika permasalahan berputar pada ketakutan rasa tidak ikhlas, kurang tawadhu, tidak zuhud, maka yang terlarang bukan hanya meminta jabatan, semua amal baik jika dilakukan tidak ikhlas juga salah. Cobalah anggap, orang yang meminta jabatan sebagai inisiatif darinya untuk beramal shalih, setelah kita menyepakati bahwa memang jabatan sebagai alat untuk beramal shalih.
Jabatan dan harta memiliki potensi yang sama : fitnah dan manfaat sekaligus. Keduanya menjadi fitnah jika dipegang oleh orang-orang yang memiliki niat jahat yang dengannya dia bisa melakukan kejahatan, atau punya niat baik, tetapi tidak punya kecakapan mengelola keduanya. Sebaliknya, keduanya menjadi manfaat yang besar bagi umat manusia jika dikuasai oleh orang-orang berhati mulia, shalih, dan cakap dalam mengelolanya.
Sebagian fuqaha berpendapat boleh-boleh saja meminta jabatan, sama sekali bukan hal yang dibenci.Tentunya jika dia benar-benar ingin berjuang untuk agama, berkhidmat untuk umat, dan memiliki kecakapan terhadap jabatan tersebut. Bukan untuk memperkaya diri dan ambisi-ambisi pribadi apalagi lagi menyalahgunakannya. Inilah kuncinya.
1. Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah berkata:
فَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إنَّ التَّنَازُعَ فِيهَا لَا يَكُونُ قَدْحًا مَانِعًا وَلَيْسَ طَلَبُ الْإِمَامَةِ مَكْرُوهًا
“Sebagian fuqaha mengatakan bahwa memperebutkan jabatan kepemimpinan tidaklah tercela dan terlarang, dan mengincar jabatan imamah bukan suatu yang dibenci.” (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 7)
2. Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengomentari :
الحديث يدل على جواز طلب الإمامة في الخير وقد ورد في أدعيت عباد الرحمن الذين وصفهم الله بتلك الأوصاف أنهم يقولون {وََاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً} وليس من طلب الرياسة المكروهة
Hadits ini menunjukkan kebolehan meminta jabatan kepemimpinan dalam kebaikan. Telah ada di antara doa-doa para ibadurrahman, di mana Allah Ta’ala menyifati mereka dengan sifat tersebut, bahwa mereka berkata (Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang bertaqwa), dan meminta jabatan itu bukanlah merupakan hal yang dibenci. (Subulus Salam, 1/128)
3. Syaikh Said bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani Hafizhahullah juga mengutip perkataan Imam Ash Shan’ani di atas, lalu dia melanjutkan :
فإن ذلك فيما يتعلق برياسة الدنيا التي لا يُعَانُ مَنْ طلبها، ولا يستحق أن يُعْطَاهَا مَنْ سأله، فإذا صَلحت النية وتأكدت الرغبة في القيام بالواجب والدعوة إلى الله – عز وجل – فلا حرج من طلب ذلك.
Sesungguhnya hal ini terkait dengan jabatan dunia yang tidak usah ditentang orang yang memintanya, dan tidak pula berhak diberikan kepada yang memintanya, namun jika dia niatnya bagus dan diperkuat oleh keinginan untuk menjalankan kewajiban dan dakwah ilallah ‘Azza wa Jalla, maka tidak apa-apa meminta jabatan itu. (Al Imamah fish Shalah, Hal. 4)
4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:
فطلب رضي الله عنه إمامة قومه للمصلحة الشرعية، ولتوجيههم للخير وتعليمهم وأمرهم بالمعروف، ونهيهم عن المنكر، مثلما فعل يوسف عليه الصلاة والسلام .
قال العلماء : إنما نهي عن طلب الإمرة والولاية ، إذا لم تدع الحاجة إلى ذلك؛ لأنه خطر ، كما جاء في الحديث: النهي عن ذلك ، لكن متى دعت الحاجة والمصلحة الشرعية إلى طلبها جاز ذلك ، لقصة يوسف عليه الصلاة والسلام ، وحديث عثمان رضي الله عنه المذكور
Beliau (Utsman) Radhiallahu ‘Anhu meminta jabatan sebagai pemimpin karena pertimbangan maslahat syar’i, dalam rangka mengantarkan manusia kepada kebaikan, mengajarkan mereka, dan memerintahkan yang baik, dan mencegah kemungkaran, sebagaimana yang dilakukan Yusuf ‘Alaihissalam.
Berkata para ulama: bahwasanya meminta jabatan adalah perkara yang terlarang, jika memang tidak ada keperluan untuk itu karena hal itu berbahaya sebagaimana diterangkan dalam hadits yang menyebutkannya. Tetapi jika karena didorong oleh keperluan dan maslahat yang syar’i untuk memintanya maka hal itu dibolehkan, berdasarkan kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam dan hadits ‘Utsman (bin Abu Al ‘Ash) Radhiallahu ‘Anhu tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibni Baaz, 7/232)
فهل يجوز طلب الإمامة؟ والجواب: إذا كان يترتب على ذلك مصلحة فلا بأس به؛ لأن الإمامة قربة وعبادة
Maka, bolehkah meminta menjadi seorang pemimpin? Jawabannya: jika hal itu membawa kepada maslahat tidaklah apa-apa, karena kepemimpinan adalah termasuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) dan ibadah. (Syarh Sunan Abi Daud, 3/404)
يجوز لك طلب الإمامة للمسجد الذي بنيته، إذا توفرت فيك شروط الإمامة، ولك أن تأخذ عليها أجرة من بيت المال ولا ينقص ذلك من أجرك
Boleh bagi Anda meminta jabatan sebagai ketua masjid yang telah Anda jelaskan, jika memang pada diri Anda memiliki banyak syarat menjadi pemimpin, dan Anda juga berhak mendapatkan honor atas hal itu yang berasal dari Baitul Maal, dan hal itu tidaklah mengurangi pahala Anda. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah – Majmu’atul Ulaa, Fatwa No. 8949)
Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Yusuf ‘Alaihissalam yang meminta kepada raja agar dirinya dijadikan penanggung jawab keuangan negerinya :
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf: 55)
Ayat ini menerangkan dua hal, yaitu pertama, meminta jabatan, kedua, syarat menjadi pejabat yakni hafizhun ‘alim – pandai menjaga amanah dan berpengetahuan. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak selayaknya seseorang meminta-minta jabatan. Seseorang harus jujur atas dirinya sendiri, jujur atas niat dan kemampuan dirinya. Ayat ini sering dijadikan dasar para ulama tentang kebolehan meminta jabatan dengan syarat seperti di atas.
“Sesungguhnya Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin tentang jabatannya, apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya (HR. Ibnu Hibban)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar