Menghormati orangtua adalah bagian dari akhlak Muslim [ilustrasi] |
Selanjutnya kita bahas tentang
adab menjalani fase usia, Seorang Muslim perlu memahami fase-fase ini dan
mengambil perhatian atas diri sendiri dan orang lain agar ia tidak sampai
melanggar adab-adabnya.
Di antara adab terkait fase usia
ini adalah mereka yang berada di fase kuat atau dewasa harus bertindak sesuai
kapasitasnya dan menggunakannya dengan penuh tanggung jawab. Karena mereka
adalah orang-orang yang berada di puncak fase usia dan yang paling memiliki
kemampuan, maka dia harus melindungi dan mengayomi orang-orang yang berada di
fase usia yang lain, bukan malah meninggalkan, tak peduli, apalagi sampai
menindas. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda, “Barangsiapa yang tidak menyayangi anak-anak kami dan tidak
mengakui hak-hak orang tua kami maka ia tidak termasuk golongan kami.” (HR
Bukhari dalam Adab al-Mufrad dari Abu Hurairah).
Begitu pula mereka yang berada
pada fase-fase usia lainnya harus mengetahui adab-adab yang perlu dilakoninya.
Seorang anak atau mereka yang berusia lebih muda, misalnya, perlu menghormati
orang-orang yang lebih tua dan mendahului dalam memberi salam. “Yang
muda harus memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, dan
yang sedikit kepada yang banyak,” sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam (HR. Bukhari).
Hilangnya adab terhadap usia bisa
berdampak sangat serius. Ada hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang
menyebut bahwa ada tiga orang yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka
pada Hari Kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak memandang kepada mereka, dan
bagi mereka azab yang pedih, di antaranya adalah orang tua yg berzina (HR.
Muslim sebagaimana disebutkan di dalam Riyadhal-Shalihin). Hal ini
disebabkan perilaku ini menunjukkan pelanggaran adab yag serius terhadap
fase usia yang dilaluinya. Seorang yang sudah tua sebenarnya berada dalam
kelemahan, termasuk dalam urusan syahwat atau dorongan seksual. Jika dorongan
syahwat sudah jauh berkurang tapi masih saja bermaksiat dan berzina, ini
merupakan hal yang sangat keterlaluan. Selain itu, fase usia yg dilaluinya
adalah fase terdekat dengan kematian, maka bagaimana mungkin ia masih sempat
melakukan dosa besar? Padahal seharusnya ia menjadi orang yang paling banyak
mengingat kematian.
Di antara persoalan serius di
jaman modern ini berkenaan dengan fase usia adalah dimundurkannya batas waktu
antara fase kanak-kanak dan dewasa. Anak-anak pada hari ini belum dianggap
dewasa sebelum ia mencapai usia dua puluh tahun atau bahkan lebih. Masa-masa di
antara baligh dan usia sekitar dua puluh tahun disebut sebagai masa transisi
atau biasa dikenal sebagai masa remaja, sebuah periode pertumbuhan yang
dahulunya tidak ada.
UNICEF dalam laporannya pada
tahun 2011 menyebut umur 10-19 tahun sebagai usia remaja (http://www.unicef.org/adolescence/files/SOWC_2011_Main_Report_EN_02092011.pdf),
sementara PBB menyebut mereka yang berusia di antara 15 dan 24 tahun sebagai
pemuda (youth), tetapi penjelasan terhadap terma ini kurang lebih sama
dengan apa yang dipahami masyarakat modern tentang remaja, yaitu “a period
of transition from the dependence of childhood to adulthood’s independence”
(http://www.un.org/esa/socdev/documents/youth/fact-sheets/youth-definition.pdf).
Yang terakhir ini membuat fase kedewasaan seorang anak menjadi semakin mundur
dan lambat.
Anak-anak sebetulnya mengalami
perubahan penting secara fisik dan psikologis menjadi seorang dewasa saat
mereka baligh dan, setelah melewati periode transisi yang singkat, bisa
diterima secara sosial sebagai bagian dari masyarakat dewasa saat mereka
berusia 15 tahun, sebagaimana di jelaskan di awal artikel ini. Hal ini sejalan
dengan perkembangan natural pada fisik serta kesiapan psikologis dan sosial
pada manusia secara umum.
Penundaan yang terlalu lama dari
batas usia ini akan menimbulkan kekacauan konsep serta kerusakan adab pada diri
seorang anak. Ia yang seharusnya sudah memasuki fase kekuatan dipaksa untuk
tetap berada dalam fase lemah, atau fase yang samar-samar, tidak lemah tapi
juga tidak kuat.
Diubahnya definisi dan batasan
waktu antara anak-anak dan dewasa telah merusak konsep adab terkait fase usia.
Seseorang yang seharusnya sudah mulai menjalani adab sebagai seorang dewasa
malah terus berperilaku seperti anak-anak atau malah ‘dihalalkan’ untuk tidak
beradab karena mereka dianggap sedang menjalani masa transisi yang penuh
gejolak. Ia menjadi kurang memiliki rasa tanggung jawab, yang merupakan salah
satu ciri kedewasaan, dan seringkali tak sungkan melakukan berbagai jenis
pelanggaran. Sebagian bahkan sangat membenci tanggung jawab, seperti yang
dikutip James E. Gardner (1992: 41) dalam Memahami Gejolak Masa Remaja tentang
ucapan seorang remaja di Amerika:
Inilah kata yang paling
kubenci – tanggung jawab. Aku selalu harus bertanggung jawab terhadap diriku
sendiri, terhadap orang lain, atau terhadap sesuatu …. Persetan dengan tanggung
jawab. Aku tidak menginginkannya. Taik dengan tanggung jawab!
Ini baru ucapan dan sikap yang
tak pantas, belum termasuk berbagai bentuk kenakalan dan perilaku tak bertanggung
jawab dari anak-anak yang biasa disebut sebagai remaja, seperti bullying,
perilaku seks yang bebas, penggunaan obat-obat terlarang, serta jiwa yang labil
dan kecenderungan bunuh diri.Sebetulnya bukan para remaja ini yang salah pada
asalnya, tetapi masyarakat modern-lah yang telah mengacaukan batasan usia serta
meninggalkan adab-adab yang menjadi tuntutan di dalamnya. Akibatnya, banyak
sikap dan perilaku anak-anak serta pemuda pada hari ini yang menjadi tak
beradab.
Karena itu tidak ada jalan untuk
memperbaiki keadaan ini selain dengan menetapkan kembali fase usia pada
batas-batasnya yang alami dan sesuai dengan tuntunan agama, serta dengan
memahami dan menghidupkan adab-adab yang sesuai padamasing-masing fase usia
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar