Arsip Blog

Kamis, 08 Maret 2018

Fase Usia dalam Hidup Kita (2)

Menghormati orangtua adalah bagian dari akhlak Muslim [ilustrasi]
Selanjutnya kita bahas tentang adab menjalani fase usia, Seorang Muslim perlu memahami fase-fase ini dan mengambil perhatian atas diri sendiri dan orang lain agar ia tidak sampai melanggar adab-adabnya.
Di antara adab terkait fase usia ini adalah mereka yang berada di fase kuat atau dewasa harus bertindak sesuai kapasitasnya dan menggunakannya dengan penuh tanggung jawab. Karena mereka adalah orang-orang yang berada di puncak fase usia dan yang paling memiliki kemampuan, maka dia harus melindungi dan mengayomi orang-orang yang berada di fase usia yang lain, bukan malah meninggalkan, tak peduli, apalagi sampai menindas. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang tidak menyayangi anak-anak kami dan tidak mengakui hak-hak orang tua kami maka ia tidak termasuk golongan kami.” (HR Bukhari dalam Adab al-Mufrad dari Abu Hurairah).

Begitu pula mereka yang berada pada fase-fase usia lainnya harus mengetahui adab-adab yang perlu dilakoninya. Seorang anak atau mereka yang berusia lebih muda, misalnya, perlu menghormati orang-orang yang lebih tua dan mendahului dalam memberi salam. “Yang muda harus memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang banyak,” sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Bukhari).

Hilangnya adab terhadap usia bisa berdampak sangat serius. Ada hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang menyebut bahwa ada tiga orang yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada Hari Kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak memandang kepada mereka, dan bagi mereka azab yang pedih, di antaranya adalah orang tua yg berzina (HR. Muslim sebagaimana disebutkan di dalam Riyadhal-Shalihin). Hal ini disebabkan perilaku ini menunjukkan pelanggaran adab yag serius terhadap fase usia yang dilaluinya. Seorang yang sudah tua sebenarnya berada dalam kelemahan, termasuk dalam urusan syahwat atau dorongan seksual. Jika dorongan syahwat sudah jauh berkurang tapi masih saja bermaksiat dan berzina, ini merupakan hal yang sangat keterlaluan. Selain itu, fase usia yg dilaluinya adalah fase terdekat dengan kematian, maka bagaimana mungkin ia masih sempat melakukan dosa besar? Padahal seharusnya ia menjadi orang yang paling banyak mengingat kematian.

Di antara persoalan serius di jaman modern ini berkenaan dengan fase usia adalah dimundurkannya batas waktu antara fase kanak-kanak dan dewasa. Anak-anak pada hari ini belum dianggap dewasa sebelum ia mencapai usia dua puluh tahun atau bahkan lebih. Masa-masa di antara baligh dan usia sekitar dua puluh tahun disebut sebagai masa transisi atau biasa dikenal sebagai masa remaja, sebuah periode pertumbuhan yang dahulunya tidak ada.

UNICEF dalam laporannya pada tahun 2011 menyebut umur 10-19 tahun sebagai usia remaja (http://www.unicef.org/adolescence/files/SOWC_2011_Main_Report_EN_02092011.pdf), sementara PBB menyebut mereka yang berusia di antara 15 dan 24 tahun sebagai pemuda (youth), tetapi penjelasan terhadap terma ini kurang lebih sama dengan apa yang dipahami masyarakat modern tentang remaja, yaitu “a period of transition from the dependence of childhood to adulthood’s independence” (http://www.un.org/esa/socdev/documents/youth/fact-sheets/youth-definition.pdf). Yang terakhir ini membuat fase kedewasaan seorang anak menjadi semakin mundur dan lambat.
Anak-anak sebetulnya mengalami perubahan penting secara fisik dan psikologis menjadi seorang dewasa saat mereka baligh dan, setelah melewati periode transisi yang singkat, bisa diterima secara sosial sebagai bagian dari masyarakat dewasa saat mereka berusia 15 tahun, sebagaimana di jelaskan di awal artikel ini. Hal ini sejalan dengan perkembangan natural pada fisik serta kesiapan psikologis dan sosial pada manusia secara umum.

Penundaan yang terlalu lama dari batas usia ini akan menimbulkan kekacauan konsep serta kerusakan adab pada diri seorang anak. Ia yang seharusnya sudah memasuki fase kekuatan dipaksa untuk tetap berada dalam fase lemah, atau fase yang samar-samar, tidak lemah tapi juga tidak kuat.
Diubahnya definisi dan batasan waktu antara anak-anak dan dewasa telah merusak konsep adab terkait fase usia. Seseorang yang seharusnya sudah mulai menjalani adab sebagai seorang dewasa malah terus berperilaku seperti anak-anak atau malah ‘dihalalkan’ untuk tidak beradab karena mereka dianggap sedang menjalani masa transisi yang penuh gejolak. Ia menjadi kurang memiliki rasa tanggung jawab, yang merupakan salah satu ciri kedewasaan, dan seringkali tak sungkan melakukan berbagai jenis pelanggaran. Sebagian bahkan sangat membenci tanggung jawab, seperti yang dikutip James E. Gardner (1992: 41) dalam Memahami Gejolak Masa Remaja tentang ucapan seorang remaja di Amerika:

Inilah kata yang paling kubenci – tanggung jawab. Aku selalu harus bertanggung jawab terhadap diriku sendiri, terhadap orang lain, atau terhadap sesuatu …. Persetan dengan tanggung jawab. Aku tidak menginginkannya. Taik dengan tanggung jawab!

Ini baru ucapan dan sikap yang tak pantas, belum termasuk berbagai bentuk kenakalan dan perilaku tak bertanggung jawab dari anak-anak yang biasa disebut sebagai remaja, seperti bullying, perilaku seks yang bebas, penggunaan obat-obat terlarang, serta jiwa yang labil dan kecenderungan bunuh diri.Sebetulnya bukan para remaja ini yang salah pada asalnya, tetapi masyarakat modern-lah yang telah mengacaukan batasan usia serta meninggalkan adab-adab yang menjadi tuntutan di dalamnya. Akibatnya, banyak sikap dan perilaku anak-anak serta pemuda pada hari ini yang menjadi tak beradab.

Karena itu tidak ada jalan untuk memperbaiki keadaan ini selain dengan menetapkan kembali fase usia pada batas-batasnya yang alami dan sesuai dengan tuntunan agama, serta dengan memahami dan menghidupkan adab-adab yang sesuai padamasing-masing fase usia tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar