Tentu sebagai umatnya kita
bertanya-tanya, apa gerangan yang menjadi kunci sukses kepemimpinan Nabi dalam
setiap lini kehidupan yang beliau pimpin. ?Mungkinkah kita bisa meniru ataupun
mengambil pelajaran dari konsep-konsep kepemimpinan beliau untuk kita terapkan
di zaman sekarang. ? Inilah beberapa hal yang akan kita bahas dalam khutbah
sederhana pada Jum’at kali ini. Khatib mencoba merumuskan konsep kepemimpinan
beliau kepada dua poin utama, yaitu:
Pertama, Nabi
selalu menyesuaikan teori kepemimpinan yang beliau sampaikan dengan
tindak-tanduknya sehari-hari. Hal ini berbeda dengan sebagian kita yang mungkin
sangat ahli dalam menciptakan teori-teori kepemimpinan, namun kurang maksimal
dalam hal penerapannya. Salah satu konsep kepemimpinan yang beliau canangkan
adalah konsep kesadaran pribadi sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin
harus sadar dan tahu diri kalau dia adalah seorang pemimpin, karena selama ini
banyak orang yang tidak sadar kalau dia adalah seorang leader yang
mempunyai tugas dan tanggungjawab kepada hal yang dipimpinnya.
Pertanyaannya sekarang adalah,
siapa pemimpin itu? Jawabannya adalah kita semua, semua kita adalah pemimpin
sebagaimana sabda Nabi dalam sebuah haditsnya yang bersumber dari Ibnu Umar dan
Sayyidah Aisyah sebagai berikut:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِوَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِزَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌعَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيْهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Masing-masing kalian
adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang imam (kepala
negara) adalah pemimpin dan akan ditanyai tentang kepemimpinannya. Seorang
laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai tentang
kepemimpinannya. Setiap perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan
ditanyai tentang kepemimpinannya. Setiap asisten rumah tangga adalah pemimpin
pada harta majikannya dan akan ditanyai tentang kepemimpinannya. Setiap
laki-laki juga pemimpin pada harta orangtuanya dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dari potongan hadits ini dapat
kita pahami bahwa kesadaran akan kepemimpinan diri menjadi modal utama
kesuksesan seseorang dalam bidang yang dia pimpin. Terkadang seorang pemimpin
berbuat sesuka hati tanpa sadar kalau nanti di hari kiamat dia akan ditanyai
secara detail terkait apa yang dia lakukan terhadap wilayah yang dia pimpin.
Semakin besar lini yang seseorang pimpin maka semakin besar juga tanggungjawab
yang harus dia pikul nantinya di akhirat. Hal ini berlaku dalam urusan agama,
pemerintahan, dan keluarga.
Seorang tokoh agama akan ditanya
tentang sejauh mana ajaran agama yang disampaikannya dia praktekkan dalam
kehidupan sehari-harinya, karena seorang ulama adalah pemimpin bagi umatnya.
Seorang kepala negara/kepala kantor/kepala bidang dan yang sejenisnya juga akan
ditanya tentang kebijakan-kebijakan yang dia ambil dalam setiap program ataupun
proyek yang dia canangkan buat masyarakat. Begitu juga seorang suami akan
mempertanggungjawabkan kondisi anak dan istrinya di hari kiamat kelak di
hadapan mahkamah Allah SWT.
Nah di sinilah penerapan Surat
Al-Nisa ayat ke-59 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْتَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِالْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Para ulama tafsir mengatakan
bahwa seorang pemimpin harus ditaati oleh rakyatnya selama sang pemimpin juga
mematuhi ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Itulah makanya pada ayat tersebut
lafadz athi’u hanya diulang sebanyak dua kali saja,
yaitu athiu Allah wa Athi’u al-Rasul, tidak ada redaksi athi’u
ulil amri yang mengindikasikan bahwa ketaatan kepada pemimpin harus
didasarkan kepada ketaatan kepada Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan hal ini jugalah para ulama menetapkan sebuah kaidah la
tha’ata fi ma’shiyati-Llah (tidak ada ketaatan kepada pemimpin dalam
hal memaksiati Allah SWT).
Kedua, Nabi selalu
memutuskan semua perkara yang beliau hadapi dengan jalan musyawarah dan
mufakat. Hal itu beliau lakukan karena mematuhi perintah Allah SWT sendiri
sebagaimana yang tercantum dalam Surat Ali ‘Imran ayat ke-159 yang berbunyi:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ، وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ،فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ، فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَىاللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Begitu juga dengan firman Allah
SWT dalam Surat al-Syura ayat ke-38 di mana Allah menyebutkan bahwa di antara
orang yang mematuhi perintah-Nya adalah orang-orang yang selalu memusyawarahkan
segala urusan yang mereka hadapi secara bersama-sama. Hal ini secara tidak
langsung hendak menyinggung para pemimpin yang hanya mementingkan urusan
pribadinya saja. Mengambil kebijakan tanpa mempertimbangkan kemaslahatan umum
dan orang banyak. Sehingga keputusannya tidak mendamaikan semua anggota yang
berada di bawah kepemimpinannya.
Ajaran musyawarah ini Nabi
terapkan dalam segala urusan yang beliau pimpin, baik agama, masyarakat maupun
keluarga. Beliau juga tidak mengenal kasta bawahan dan atasan dalam
kepemimpinannya. Setiap orang diposisikan sama dan mempunyai kesempatan yang
sama pula dalam memberikan usulan dan pendapat dalam persoalan apapun, selama
sesuai dengan aturan dan pedoman yang berlaku. Satu lagi yang terpenting adalah
Nabi memanggil bawahan beliau sebagai sahabat, bukan sebagai bawahan yang bisa
diperlakukan sesuka hatinya saja.
Dari uraian singkat di atas,
dapatlah kita simpulkan bahwa dua kunci sukses yang diajarkan Nabi dalam
kehidupan ini, baik dalam agama, masyarakat, dan keluarga adalah menyadari
kalau setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya di mahkamah Allah di akhirat kelak. Kemudian memutuskan
persoalan secara bersama-sama dengan mempertimbangkan kemaslahatan bersama dan
tidak mengkotak-kotakan manusia ke dalam istilah bawahan dan atasan. Allahu
A’lam.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus