Arsip Blog

Kamis, 15 November 2018

15 Cara Islam dalam Mengendalikan Emosi


Emosi merupakan perasaan yang lazim dimiliki oleh setiap manusia. Biasanya manusia dapat merasakan emosi karena dipengaruhi oleh suasana hati. Suasana hati yang sedang sedih, marah, dan gembira merupakan contoh dari macam-macam emosi. Akan tetapi, emosi lebih diidentikkan dengan marah. Sebagai contoh, seseorang berkata, “Si Slamet orangnya emosian, mudah marah. Kalian berhati-hatilah dengan dia.” Perkataan semacam itu tentu pernah kita dengar. Entah di jalan atau ketika kita sedang berkumpul bersama teman.
Penting bagi kita untuk menjaga emosi. Karena emosi tentu akan mempengaruhi diri kita pribadi dan lingkungan sekitar. Ada beberapa manfaat ketika kita dapat menjaga emosi, yaitu : Disenangi banyak orang. Kebanyakan orang akan lebih menyukai tipikal seseorang yang tidak mudah emosi, sehingga mereka akan lebih disenangi.

Mudah dalam bergaul sesuai Pergaulan dalam islam. Bergaul dengan orang yang memiliki emosi yang stabil akan lebih menyenangkan dan mudah diterima di lingkungan pergaulannya.
Tidak mudah dipengaruhi atau dihasut. Dalam keadaan emosi yang stabil akan lebih mudah berpikir dengan jernih, sehingga tidak mudah untuk dipengaruhi tau dihasut.

Fisik dan mental akan menjadi sehat. Orang yang mudah emosi tekanan darahnya akan tinggi. Detak jantung dan otot pun akan lebih tegang. Sehingga dapat menurunkan daya tahan tubuh. Selain itu, orang yang emosian tidak dapat menghadapi masalah dengan tenang dan membuat mentalnya terganggu dan mudah stres.

Terhindar dari perselisihan atau pertengkaran. Perselisihan atau pertengkaran umumnya disebabkan oleh emosi. Jika kita dapat menjaga emosi otomatis akan terhindar dari kedua hal tesebut.
Selain bermanfaat, menjaga emosi juga diperintahkan oleh Allah SWT.

“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS. Asy Syuura: 37)

Nabi Muhammad Saw. bersabda:
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat. Orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya di saat marah.” (HR. Bukhari)


Berikut penulis sampaikan tentang 15 Cara Islam dalam Mengendalikan Emosi

1. Membaca Ta’awudz
Hal pertama yang dilakukan dalam Cara Mengendalikan Emosi Menurut Islam adalah mengendalikan emosi. Emosi atau marah berasal dari hawa nafsu. Di mana hal tersebut adalah merupakan titik lemah manusia yang selalu diincar oleh syaitan. Oleh karena itu, sebaiknya kita segera meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah SWT.

Dari sahabat Sulaiman bin Surd Ra, beliau menceritakan: Suatu hari saya duduk bersama Nabi Saw. Ketika itu ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat lehernya memuncak. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:
“Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: “A’uudzu billahi minas syaithanir rajiim,” marahnya akan hilang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Menjaga Lisan dengan Diam
Ketika sedang emosi, hal yang paling sulit untuk dikendalikan adalah perkataan. Biasanya semakin banyak kata yang terucap saat emosi atau marah, maka semakin banyak pula kita menebar kebencian dan hal yang tidak baik yang keluar dari mulut. Oleh karena itu, apabila kita sudah mulai merasa emosi atau marah, sebaiknya kita lekas berdiam. Tutup mulut dan jaga lisan.
Dari Ibnu Abbas Ra, Rasulullah Saw. bersabda:
“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad).

3. Merubah Posisi
Ketika sedang emosi atau marah, maka sebaiknya mengambil posisi yang lebih rendah. Maksudnya adalah ketika kita emosi atau marah di saat sedang berdiri, maka hendaklah kita duduk untuk meredakan emosi tersebut. Jika kita marah pada saat posisi duduk, maka hendaklah kita berbaring. Dengan begitu kita akan sulit untuk bergerak atau melakukan perlawanan pada saat marah.
Dari Abu Dzar Ra, Rasulullah Saw. menasehatkan: “Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

4. Mengingat Keutamaan Menjaga Emosi
Ada berbagai macam manfaat atau keutamaan dalam menjaga emosi seperti yang telah disebutkan di atas. Jadikanlah pacuan untuk meredakan emosi atau amarah. Ingat selalu apa saja yang akan kita dapatkan ketika berhasil menahan emosi. Rayuan untuk menjaga emosi juga disampaikan dalam hadist.
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
“Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki.” (HR. Abu Daud, Turmudzi)

5. Mengingat Akibat dari Emosi
Selain mengingat manfaat dari menjaga emosi, sebaiknya juga ingatlah akibat dari emosi tersebut. Ada beberapa akibat yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, misalnya: terjadi perselisihan atau pertengkaran, hubungan menjadi tidak baik, timbul rasa dendam, sulit untuk bergaul, tidak memiliki teman, dsb.

6. Berwudhu
Cara Mengendalikan Emosi Menurut Islam yang ampuh adalah dengan berwudhu. Sesungguhnya marah itu adalah bersumber dari syaitan. Mereka menggoda dan menjerumuskan kita dengan kemarahan. Syaitan terbuat dari api, sedangkan api akan padam dengan air. Maka ketika sedang emosi atau marah, hendaklah berwudhu untuk meredam emosi tersebut.
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
“Sesungguhnya marah itu dari syaitan, dan syaitan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

7. Mandi
Sama halnya dengan berwudhu, mandi juga dapat meredam emosi atau marah. Karena emosi atau marah itu bersumber dari syaitan, maka mandi juga dapat meredam emosi tersebut.
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
“Marah itu dari syaitan, syaitan dari api, dan air bisa memadamkan api. Apabila kalian marah, mandilah.” (HR. Abu Nuaim)

8. Membaca Istighfar
Amalan istighfar dapat menenangkan hati dan pikiran sebagai alternatif Cara Mengendalikan Emosi Menurut Islam. Karena sejatinya beristighfar itu adalah meminta ampun kepada Allah atas dosa-dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Dengan begitu, hati dan pikiran akan lebih lega dan jiwa tenang ketika ada sesuatu yang mengganggu ataupun membuat emosi dan marah.

9. Berdzikir
Berdzikir merupakan amalan yang sangat dianjurkan kepada umat islam untuk dikerjakan kapanpun. Berdzikir tidak memandang waktu-waktu tertentu. Akan tetapi, berdzikir ketika sedang emosi atau marah dapat membuat hati menjadi tenang. Dengan hati yang tenang, maka emosi pun dapat dikendalikan.

10. Membaca Al Qur’an
Al Qur’an merupakan kitab suci yang sangat istimewa. Al Qur’an juga memiliki beberapa nama layaknya Asmaul Husna bagi Allah. Salah satu nama lain dari Al Qur’an adalah Asy Syifa yang artinya obat penyembuh. Sesungguhnya emosi atau marah merupakan penyakit hati. Adapun obat dari penyakit hati adalah Al Qur’an. Dengan membaca Al Qur’an, hati yang panas akan menjadi sejuk dan dapat membuat pikiran dan hati menjadi tentram.

11. Shalat Sunnah
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu cara untuk mengendalikan emosi adalah dengan berwudhu. Sebagimana syarat sah dalam shalat, apabila sebelum melakukan shalat diwajibkan untuk berwudhu.
Dari berwudhu saja kita sudah dapat mengendalikan emosi, terlebih kita melakukan shalat, maka hati dan perasaan akan menjadi lebih tenang. Shalat sunnah dapat dilakukan kapan saja, maka sangat cocok dilakukan ketika sedang emosi atau marah. Selain itu, di dalam shalat terdapat doa-doa dan ayat-ayat Al Qur’an. Maka lengkap sudah semua yang kita butuhkan untuk mengendalikan emosi.

12. Berpuasa Sunnah
Puasa sunnah memiliki berbagai manfaat, salah satunya adalah dapat mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam diri. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa emosi atau marah adalah merupakan salah satu bagian dari hawa nafsu tersebut. Sehingga dengan begitu kita akan mudah mengendalikan emosi atau amarah di dalam diri.

13. Memaafkan
Saling memaafkan adalah salah satu hal terindah dalam hidup ini. Dengan saling memaafkan, suasana hati akan menjadi tenang, perasaan dendam pun tidak akan datang dan hidup pun akan menjadi damai dan harmonis. Tidak akan terjadi perselisihan atau perkelahian atau bahkan peperangan jika kita saling memaafkan.
Emosi atau marah juga dapat seketika redam ketika kita saling memaafkan. Oleh karena itu, apabila ketika kita sedang emosi atau marah kepada seseorang, maka hendaklah segera saling memaafkan. Sehingga emosi tersebut dapat terhenti.
Allah SWT. berfirman:
“Dan jika mereka marah mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syuura: 37)

14. Introspeksi Diri atau Tafakur
Bertafakur atau introspeksi diri berarti merenungkan setiap perbuatan dan perkataan yang telah kita lakukan. Apakah setiap perbuatan dan perkataan kita telah benar dan tidak menyinggung perasaan orang lain, atau sebaliknya. Salah satu manfaat bertafakur adalah dapat membentengi diri dari perilaku yang berlebihan terhadap sesuatu, misal marah.

15. Berpikir Positif
Selalu berpikir positif dalam menghadapi persoalan dan masalah menjadikan pikiran kita tenang. Selain pikiran tenang, dengan berpikir positif juga berarti kita mudah memaklumi dan mengambil hikmahnya, baik perkataan ataupun perbuatan orang lain.

Ukih men yo gaess.. angil sisan, tapi dengan emosi yang terjaga diharapkan kita dapat hidup bahagia dalam islam, menjalankan hidup sesuai akhlak dalam islam, dan memiliki jiwa yang tenang dalam islam.

SELAMAT MENCOBA GAESS.. !!

Jumat, 28 September 2018

Mencari Nilai Ibadah Dalam Bekerja

Islam mencintai seorang muslim yang giat bekerja, mandiri, apalagi rajin memberi. Sebaliknya, Islam membenci manusia yang pemalas, suka berpangku tangan dan menjadi beban orang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ

 “Maka carilah rizki disisi Allah..” (QS. Al ‘Ankabut [29]: 17)

Bekerja dalam pandangan Islam begitu tinggi derajat-nya. Hingga Allah dalam Al Qur`an menggandengkannya dengan jihad memerangi orang-orang kafir.

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.” (QS. Al Muzzammil [73]: 20)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan me-nyebut aktifitas bekerja sebagai jihad di jalan Allah. Diriwayatkan, beberapa orang sahabat melihat seorang pemuda kuat yang rajin bekerja. Mereka pun berkata mengomentari pemuda tersebut, “Andai saja ini (rajin dan giat) dilakukan untuk jihad di jalan Allah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menyela mereka dengan sabdanya, “Janganlan kamu berkata seperti itu. Jika ia bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menafkahi kedua orang-tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, maka ia pun di jalan Allah. Namun jika ia bekerja dalam rangka riya atau berbangga diri, maka ia di jalan setan.” (HR Thabrani, dinilai shahih oleh Al Albani)

Manusia paling mulia di muka bumi ini adalah para nabi. Tugas yang mereka emban di dunia ini sangat mulia, yaitu berdakwah kepada agama Allah dan mengajarkan risalahnya kepada manusia yang lain. Allah sering mengisahkan kepada kita perjuangan dakwah mereka dalam Al Qur`an. Namun begitu, Allah dalam Al Qur`an juga menyebutkan sisi lain dari kehidupan mereka. Mereka juga seperti manusia yang lain pada umumnya, termasuk dalam hal bekerja dan mencari penghidupan. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ

 “dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (QS. Al Furqan [25]: 20)

Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya berkata, “Maksud-nya, mereka mencari penghidupan di dunia.. ayat ini merupakan landasan disyariatkannya bekerja mencari penghasilan baik dengan berniaga, produksi atau yang lainnya.”

Nabi Adam bertani, Ibrahim menjual pakaian, Nuh dan Zakaria tukang kayu, Idris Penjahit dan Musa penggembala. Allah mengisahkan dalam Al Qur`an bahwa Nabi Dawud membuat baju besi.

وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ

 “dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam pepe–ranganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al Anbiya [21]: 80)

“dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari kami. (kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya aku melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Saba` [34]: 10-11)

Nabi kita yang mulia juga mengabarkan, bahwa beliau pernah bekerja sebagai penggembala kambing. “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan pernah menjadi penggembala kambing.” Para sahabat berkata, “Begitu juga engkau?” beliau bersabda, “Ya, aku pernah menggembala kambing penduduk Makkah dengan upah sejumlah uang.” (HR Bukhari)

Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berdagang. Beliau pernah melakukan perjalanan bisnis ke negeri Syam untuk menjual barang-barang dagangan milik Khadijah radhiyallahu ‘anha.

Oleh karena itu semua, Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha mencari penghidupan. Allah berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mukl [67]: 15)

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10)

Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, “Diriwayat-kan dari sebagian salaf bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang membeli atau menjual sesuatu pada hari jumat setelah shalat, Allah akan memberkahi untuknya 70 kali.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari pekerjaan tangannya sendiri.” (HR Bukhari)

Semangat ini juga difahami oleh para sahabat yang mulia –semoga Allah meridhai mereka. Mereka juga para pekerja. Diriwayatkan Abu Bakar penjual pakaian, Umar bekerja mengurusi kulit, Utsman bin Affan pedagang, Ali bin Abi Thalib bekerja sebagai pegawai lebih dari satu kali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Begitu juga para sahabat yang lain seperti Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Az Zubai bin Al Awwam, Amr bin al Ash dan yang lainnya memiliki pekerjaan masing-masing dalam rangka mencari penghidupan di dunia ini.

Agar Bekerja Bernilai Ibadah

Telah dijelaskan bahwa Islam mendorong umatnya untuk bekerja, hidup dalam kemuliaan dan tidak menjadi beban orang lain. Islam juga memberi kebebasan dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan setiap orang. Namun demikian, Islam mengatur batasan-batasan, meletakkan prinsip-prinsip dan menetapkan nilai-nilai yang harus dijaga oleh seorang muslim, agar kemudian aktifitas bekerjanya benar-benar dipandang oleh Allah sebagai kegiatan ibadah yang memberi keuntungan berlipat di dunia dan di akhirat. Berikut ini adalah batasan-batasan tersebut:

Pertama, pekerjaan yang dijalani harus halal dan baik. Allah berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al Baqarah [2]: 172)

Setiap muslim diperintahkan untuk makan yang halal-halal saja serta hanya memberi dari hasil usahanya yang halal, agar pekerjaan itu mendatangkan kemaslahatan dan bukan justru menimbulkan kerusakan. Itu semua tidak dapat diwujudkan, kecuali jika pekerjaan yang dilakukannya termasuk kategori pekerjaan yang dihalalkan oleh Islam. Maka tidak boleh bagi seorang muslim bekerja dalam bidang-bidang yang dianggap oleh Islam sebagai kemaksiatan dan akan menimbulkan kerusakan. Diantara bentuk pekerjaan yang diharamkan oleh Islam adalah membuat patung, memproduksi khamr dan jenis barang yang memamukkan lainnya, berjudi atau bekerja dalam pekerjaan yang mengan-dung unsur judi, riba, suap-menyuap, sihir, ternak babi, mencuri, merampok, menipu dan memanipulasi dan begitu pula seluruh pekerjaan yang termasuk membantu perbuatan haram seperti menjual anggur kepada produsen arak, menjual senjata kepada orang-orang yang memerangi kaum muslimin, bekerja di tempat-tempat maksiat yang melalaikan dan merusak moral manusia dan lain sebagainya.

Kedua, bekerja dengan profesional dan penuh tanggungjawab. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk sekedar bekerja, akan tetapi mendorong umatnya agar senantiasa bekerja dengan baik dan bertanggungjawab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah mencintai seorang diantara ka-lian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR Baihaqi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam “Silsilah As Shahihah”)

Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajib-kan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR Muslim)

Yang dimaksud dengan profesional dalam bekerja adalah, merasa memiliki tanggungjawab atas pekerjaan tersebut, memperhatikan dengan baik urusannya dan berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan.

Ketiga, ikhlas dalam bekerja, yaitu meniatkan aktifitas bekerjanya tersebut untuk mencari ridho Allah dan beribadah kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari Muslim)

Niat sangat penting dalam bekerja. Jika kita ingin pekerjaan kita dinilai ibadah, maka niat ibadah itu harus hadir dalam sanubari kita. Segala lelah dan setiap tetesan keringat karena bekerja akan dipandang oleh Allah sebagai ketundukan dan amal shaleh disebabkan karena niat. Untuk itulah, jangan sampai kita melupakan niat tersebut saat kita bekerja, sehingga kita kehilangan pahala ibadah yang sangat besar dari pekerjaan yang kita jalani itu.

Keempat, tidak melalaikan kewajiban kepada Allah. Bekerja juga akan bernilai ibadah jika pekerjaan apa pun yang kita jalani tidak sampai melalaikan dan melupakan kita dari kewajiban-kewajiban kepada Allah. Sibuk bekerja tidak boleh sampai membuat kita meninggalkan kewajiban. Shalat misalnya. Ia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Maka, jangan sampai kesibukan bekerja mencari karunia Allah mengakibatkan ia meninggalkan shalat walau pun hanya satu kali. Begitu pula dengan kewajiban yang lainnya, seperti zakat, puasa, haji, bersilaturahmi dan ibadah-ibadah wajib lainnya.

Itulah beberapa prinsip dan etika penting yang harus dijaga oleh siapa saja yang tengah bekerja untuk mencukup diri dan keluarga yang berada dalam tanggungannya. Bekerja adalah tindakan mulia. Keuntungan dunia dapat diraih dengannya. Namun bagi seorang muslim, hendaknya bekerja menjadi memiliki keuntungan ganda, keuntungan di dunia dengan terkumpulnya pundi-pundi kekayaan, dan di akhirat dengan pahala melimpah dan kenikmatan surga karena nilai ibadah yang dikandungnya. Wallahu a’lam.

Jumat, 17 Agustus 2018

Bekerja Dengan Ikhlas

Hidup di dunia yang sementara ini, beragam aktifitas pekerjaan yang dilakukan sehari-hari hanya karena terdorong oleh berbagai macam maksud dan tujuan. Ada yang bernilai tinggi, ada juga yang bernilai rendah. Suatu pekerjaan bernilai tinggi karena adanya niat yang benar lillahi ta’ala, sebaliknya bernilai rendah dan murahan karena didasari niat mencari perhatian dan pamrih tertentu, bahkan ada juga yang bekerja tanpa didasari dengan motivasi yang jelas sehingga kerjanya menjadi sia-sia (tidak memberikan manfaat untuk dirinya dan orang lain).

Bercermin dari firman Allah swt. Dalam Al Qur’an: ” Dan katakanlah (Muhammad), bekerjalah kamu maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan di kembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (Attaubah: 105). Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa amal baik yang serukan Allah kepada Rasul-Nya adalah pekerjaan yang dapat dipertanggung jawabkan dihadapan Allah, kepada Rasulullah, dan kepada orang-orang yang beriman.

Artinya amal perbuatan tersebut dikerjakan hanya karena mencari keridhaan Allah, terdorong dengan niat yang ikhlas, berlandaskan iman dan takwa, serta adanya niat khidmah yang tulus tanpa pamrih. Kata amal yang disebutkan dalam ayat “i’maluu/ amal” mengandung arti “bekerjalah/ kerja”. Amal yang dimaksudkan bukan bermakna khusus yang hanya terbatas amalan sholat, puasa, haji dan sebagainya, akan tetapi amal yang dimaksudkan adalah meliputi semua pekerjaan yang bernilai ibadah.

Penulis teringat ada pelajaran penting di Pesantren yang ditulis oleh syaikh Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al Muta’llim bahwa semua pekerjaan/ aktifitas berpeluang mendapatkan balasan baik dan buruk dari Allah, ” betapa banyak aktifitas yang terkesan duniawi akan tetapi bernilai ukhrowi karena niat yang baik, begitu juga sebaliknya betapa banyak aktifitas yang yang terkesan ukhrowi tetapi bernilai duniawi karena niat yang salah”. Dalam Al Qur’an sering berpasangan antara kata “amal” dan “shaleh”. Hal ini mengandung arti bahwa apapun pekerjaan yang kita lakukan, harus mengandung dan memberikan nilai kebaikan (nilai positif) kepada orang lain dan bukan sebaliknya.

Mengapa kita harus bekerja dengan ikhlas? Karena dengan ikhlas manusia akan menemukan eksistensi dirinya, mendapatkan fitrahnya bahwa hidup ini akan menjadi bernilai bila manusia ada dalam bekerja, dan setiap kerja yang ikhlas akan membawa kebahagiaan bagi yang bersangkutan. Karena itu, Islam tidak suka kepada orang yang menganggur, berpangku tangan mengharapkan pemberian orang lain, mengharap iba dan pemberian orang. Islam mewajibkan pemeluknya untuk beramal sebanyak-banyaknya untuk kemaslahatan diri dan orang lain.

Ada ungkapan yang menarik yang kita bisa ambil hikmahnya dalam mengisi aktifitas sehari-hari sebelum datang hari yang pembalasan (yaum al jaza’), “amal adalah sendi agama”, menjadi pejabat di pusat atau daerah, menjadi petani di sawah atau di ladang, menjadi pedagang di toko atau di pasar, menjadi karyawan di pabrik ataupun di kantor semuanya adalah upaya manusia untuk monerehkan amal shalehnya dimuka bumi. Murid belajar dan guru mengajar, ibu mengurus rumah dan ayah mencari nafkah keluarga, tentara menjaga pertahanan negara, sedangkan polisi menjaga keamanan rakyatnya. Semuanya berada dalam kerangka pengabdian/ ibadah kepada Allah melalui amal shaleh masing-masing dan dengan caranya masing-masing.

Kelak ketika seseorang meninggal dia akan berbekal amal shaleh. Bukan uang yang di rekening tabungnya, bukan jabatan yang di sandangnya, bukan pula rumah yang dibangunya. Karena semua akan ditinggalkannya sejak terlepasnya ruh dari jasad. Hanya “amal shaleh” yang akan setia menemaninya dialam barzakh. Ada amal shaleh yang akan terus tersambung pahalanya kepada pelakunya walaupun ia sudah tak lagi berbuat (meninggal), yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang setia mendo’akanya. Ketiga amal ini akan mampu mengantar pelakunya bisa memetik hasilnya kelak di akhirat apabila pelakunya tulus melakukan apa yang dikerjakannya dengan ikhlas dan mengharap ridha Allah.

Orang yang ikhlas/ mukhkis adalah orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian. Semua perkataanya, perbuatannya, pemberiannya, penolakannya, ibadahnya dan seterusnya semua semata-mata dilakukan hanya untuk Allah swt. Oleh karena itu, baginya pujian orang tidak membuatnya bangga hati, dan kekecewaan serta caci maki orang tidak membuatnya surut dalam beramal.

Manusia dengan predikat mukhlis/ ikhlas adalah orang yang produktif bagi dirinya walaupun mungkin orang lain tak mengakuinya, seorang mukhlis lebih suka menyembunyikan perbuatannya dari penglihatan orang lain, mukhlis berbuat sesuatu demi Allah sedang orang yang riya melakukan sesuatu demi pujian orang. Semoga ruh keikhlasan selalu menyertai dalam setiap denyut nadi amal shaleh kita. Wallahu ‘Alam Bisshawab.

Jumat, 13 Juli 2018

Konsep islam tentang kepemimpinan

Konsep islam tentang kepemimpinan sebenarnya sudah ideal. Contoh paling ideal pemimpin islam tentu saja Nabi Muhamad Saw. Ia merupakan seorang yang memimpin dengan hati. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21).

Konsep wakil rakyat yang kita kenal di Indonesia tentu saja merupakan bagian dari kepemimpinan yang islam. Namun, belakangan, akibat perilaku dari sebagian wakil rakyat, kata ini berubah menjadi kebodohan belaka. Apakah hal itu merupakan bagian dari islam? Lalu, bagaimana sifat seorang wakil rakyat yang ideal menurut islam?

Islam mengenal empat sifat yang mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin (wakil rakyat). Sifat ini menjadi sebuah keharusan untuk membentuk tatanan masyarakat. Jika salah satu dari keempatnya hilang, maka bisa dipastikan akan terjadi kekacauan. Korbannya, lagi-lagi, adalah masyarakat.

Empat sifat itu adalah, pertama, Shidiq. Makna sederhananya adalah kejujuran. Hal ini merupakan sikap utama yang harus dimiliki seorang wakil rakyat. Tapi, bukan sekadar jujur. Shidiq ini memiliki arti yang lebih luas lagi, yakni sebuah sikap dalam menjalankan segala tugas dengan asas keterbukaan informasi (akuntabilitas) dan tanpa kecurangan.

Lawan dari sikap ini adalah kebohongan. Bayangkan saja, bagaimana jika seorang wakil rakyat terbiasa berbohong? Bagaimana sebuah negara ingin sejahtera dan maju jika pemimpinnya suka berbohong dan kerapkali menutupi fakta yang harus diketahui masyarakat, serta memutarbalikannya seenak sendiri?

Untuk itulah, islam sudah selayaknya menempatkan sifat ini posisi pertama yang harus dimiliki seorang wakil rakyat.

Kedua adalah Amanah. Artinya, adalah kemampuan untuk menjaga segala sesuatu yang dipercayakan. Tentu kita sering mendengar, bahwa kepemimpinan merupakan sebuah amanah. Hal ini memiliki makna yang besar, bahwa menjadi wakil rakyat ia harus dituntut untuk selalu bertanggung jawab. Tanggung jawab ini bukan hanya kepada rakyat yang mengutusnya, tapi juga tanggung jawab kepada Allah Swt.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Ketiga adalah Fathonah. Makna sederhananya adalah cerdas. Dalam islam, seorang pemimpin haruslah seorang yang cerdas. Cerdas ini bukan sekadar urusan intelektual belaka, lebih itu, seorang wakil rakyat dituntut untuk handal dan taktis dalam menghadapi segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Bukan malah menjadi corong segala kerusakan atau malah jadi penghasut di tengah masyarakat.

Keempat, Tabligh. Sederhananya, sifat ini adalah penyampai yang baik. Banyak juga yang memaknainya sebagai komunikasi. Tapi, kita dapat mengartikan sifat ini sebagai bentuk penyampaian secara jujur, sekaligus bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (transparansi). Kata ini sering diperlawankan dengan menutupi atau melindungi kesalahan.

Seorang wakil rakyat tentu tidak boleh menutupi kesalahan yang ia perbuat, apalagi menutupinya. Inilah yang disebut pemimpin dzolim dalam islam. “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih” [QS. Asy-Syuuraa : 42].

Jadi, jika ada seorang pemimpin telah melanggar aturan di atas, tidak memegang prinsip akuntabilitas, kerap memutarbalikkan fakta dan membohongi masarakat dengan kekuasaaan yang ia miliki, apakah orang tersebut layak disebut wakil rakyat?


Dalam islam, kita bisa menjawabnya: tidak.

Kamis, 28 Juni 2018

Nasehat Gusdur tentang Sholat

Bila engkau anggap sholat itu hanya penggugur kewajiban, maka kau akan terburu-buru mengerjakannya.
Bila kau anggap sholat hanya sebuah kewajiban, maka kau tak akan menikmati hadirnya Allah saat kau mengerjakannya.
Anggaplah sholat itu pertemuan yang kau nanti dengan Tuhanmu.
Anggaplah sholat itu sebagai cara terbaik kau bercerita dengan Allah SWT.
Anggaplah sholat itu sebagai kondisi terbaik untuk kau berkeluh kesah dengan Allah SWT.
Anggaplah sholat itu sebagai seriusnya kamu dalam bermimpi.
Bayangkan ketika "adzan berkumandang", tangan Allah melambai ke depanmu untuk mengajak kau lebih dekat dengan-Nya.
Bayangkan ketika kau " takbir", Allah melihatmu, Allah senyum untukmu dan Allah bangga terhadapmu.
Bayangkanlah ketika "rukuk", Allah menopang badanmu hingga kau tak terjatuh, hingga kau rasakan damai dalam sentuhan-Nya.
Bayangkan ketika "sujud", Allah mengelus kepalamu. Lalu Dia berbisik lembut di kedua telingamu: "Aku Mencintaimu hamba-Ku".
Bayangkan ketika kau "duduk di antara dua sujud", Allah berdiri gagah di depanmu, lalu mengatakan: "Aku tak akan diam apabila ada yang mengusikmu".
Bayangkan ketika kau memberi "salam", Allah menjawabnya, lalu kau seperti manusia berhati bersih setelah itu.


Senin, 14 Mei 2018

Kepemimpinan dan Pengabdian Kepada Allah

Tugas utama manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah. Karena itu segala aktivitas kita di dunia harus didedikasikan dan diorientasikan untuk ibadah dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :



Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]:56).



Apapun status dan kedudukan manusia, apakah pejabat, konglomerat, maupun rakyat memiliki tugas mulia untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah. Jangan mentang-mentang jadi pejabat, memiliki kekuasaan dan bergelimang dengan kekayaan, berbuat dan berulah sesuka nafsunya dengan meninggalkan kewajiban pokoknya untuk beribadah. Sehingga akan mendatangkan murka dari Allah dan dijauhkan dari kebarakahan dan keridhaan. Maka orang yang tidak mau beribadah dikategorikan sombong dan angkuh, karena tidak menyadari akan eksistensi dan tugasnya di dunia. Allah SWT berfirman: Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman :

‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu’. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS. Al-Mu’min [40]:60).



Ibadah secara bahasa artinya tunduk dan patuh. Sedangkan secara istilah, banyak definisi yang dikemukakan para ulama mengenai pengertian ibadah. Misalnya  ada yang mendefinisikan, bahwa “Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta beramal sesuai dengan kewenangan syara’ (agama)”. 

Dalam kitab lain dikemukakan, bahwa “Ibadah adalah nama yang mencakup segala bentuk yang dicintai serta diridhai Allah, baik ucapan maupun perbuatan, yang nyata atau yang tersembunyi” (A. Zakaria, 2006:4). Mengingat luasnya cakupan ibadah, maka para ulama membaginya menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdhah (khusus) yang kaitannya langsung dengan Allah (habl min Allah) dan ibadah ghair mahdhah (umum) yang kaitannya antar sesame manusia dan lingkungan (habl mi al-naas).



Dalam melaksanakan ibadah harus didasarkan dan diniatkan ikhlas semata-mata mengharap keridhaan dan pahala dari Allah SWT Sehingga ibadah yang kita lakukan benar-benar dapat difokuskan pada pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah SWT Dalam Al-Qur’an diungkapkan: Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah [98]:5).



Kemudian tujuan utama dari pelaksanaan ibadah itu adalah membentuk jiwa-jiwa yang bertakwa kepada Allah SWT. Misalnya tujuan dari ibadah shaum supaya menjadi orang yang bertakwa, begitu pula ibadah-ibadah yang lainnya. Karena takwa itu merupakan derajat yang paling tinggi sehingga manusia dapat mencapai puncak kemuliaan hidup di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman :



Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]:21).



Karena tugas ibadah itu melekat pada perjalanan hidup manusia, maka tugas ibadah itu berlaku sepanjang hayat. Selama kita masih dapat menghirup udara segar di dunia, maka sepanjang itu pula kita tetap memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada Allah. Pada konteks perjalanan hidup ini, maka menjadi pemimpin pun merupakan lahan untuk beribadah kepada Allah SWT dengan jalan pengabdian kepada masyarakat. Sehingga para pemimpin benar-benar dapat mencurahkan perhatian dan kemampuannya, dan berusaha untuk menjauhkan dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji karena khawatir mengotori niat suci untuk beribadah kepada Allah SWT melalui kepemimpinan dan kebijakan yang dikeluarkan. 

Allah SWT berfirman : Artinya: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS. Al-Hijr [15]:99)

Senin, 30 April 2018

Sujud Syukur sebagai perwujudan bersyukur

Ikhtiar + Tawakal = Berkah
Sudah kewajiban kita sebagai manusia bersyukur atas nikmat dan karunia yang telah Allah Swt berikan kepada kita. Bersyukur tidak hanya semata-mata saat mendapat kesenangan maupun nikmat saja melainkan saat kita terhindar dari marabahaya kita juga harus bersyukur karena Allah Swt telah memberikan keselamatan pada kita. Salah satu cara untuk mengucapkan terimakasih kita atas semua yang telah Allah Swt berikan kepada kita selaku hambanya ialah dengan sujud Syukur.

Sujud Syukur adalah sujud yang dilakukan karena mendapatan sesuatu nikmat dan terhindar dari marabahaya, bencana maupun kesusahan yang menimpa. Hukum Sujud Syukur adalah sunnah yang boleh dilakukan maupun tidak, namun jika melakukannya mendapat pahala sebagai mana yang sabda Rasulullah saw.

عَنْ اَبِى بَكْرَةَ اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَاأَتَاهُ أَمُرٌ يَسُرُّهُ أَوْبُشْرَى جَرَّ سَاجِدَا شُكُرَاللهِ

Artinya: "Dari Abu Bakrah sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, apabila datang kepada nabi sesuatu menggembirakan atas kabar suka, beliau langsung sujud syukur kepada Allah. (H.R Abu Daud dan Turmudzi).
Berdasarkan hadist diatas bahwa pada saat rasulullah saw mendapatkan kegembiraan beliau langsung mengerjakan sujud syukur.

Tata Cara Sujud Syukur
Berikut adalah tata cara melakukan sujud syukur:

1. Berdiri Menghadap Kiblat
2. Berniat Melakukan Sujud Syukur
3. Kemudian Takbiratul Ihram, dengan Membaca (Allahu Akbar)
4. Lalu sujud dua kali, sambil membaca doa sebagai berikut:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ وَلَاإِلٰهَ إِلَّااللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ وَلَاحَوْلَ وَلَا قُوَةَإِلَابِااللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Subhaanallohi walhamdulillaahi walaa ilaaha-illalloohu wallohu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billaahil 'aliyyil 'adziim.

Artinya: "Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah. Allah maha besar dan tiada kekuatan serta daya upaya kecuali  atas izin Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung"
5. Duduk Sejenak.
6. Mengucap salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri.


Dengan melakukan sujud syukur sebagai rasa terimakasih kepada Allah Swt atas nikmat karena mendapatkan sesuatu yang diinginkan maupun terhindar dari marabahaya, semoga Allah selalu memberikan nikmat dan dilindungi dari segala bahaya yang mengintai, demikianlah mengenai bacaan sujud syukur beserta tata cara melakukan sujud syukur, semoga bisa bermanfaat.


Jumat, 27 April 2018

Berlomba lomba dalam hal kebaikan

Allah Ta’ala telah memberikan berbagai nikmat-Nya kepada kita semua yang tentunya harus kita syukuri dengan cara: 

yang pertama, kita meyakini dalam hati bahwa nikmat-nikmat tersebut datangnya dari Allah semata, yang merupakan karunia-Nya yang diberikan kepada kita; yang kedua, mengucapkan rasa syukur kepada-Nya melalui lisan-lisan kita dengan cara memuji-Nya; dan yang ketiga, mempergunakannya sesuai dengan apa yang Allah kehendaki.

Di antara nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah harta dan sehatnya anggota badan seperti lisan, tangan, kaki dan lainnya. Semua nikmat itu harus kita gunakan untuk ketaatan kepada Allah dengan cara menginfakkan harta yang kita miliki di jalan kebenaran, membiasakan lisan kita untuk senantiasa berdzikir kepada-Nya dengan dzikir-dzikir yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya yang shahih, mengucapkan ucapan yang baik, beramar ma’ruf nahi munkar dan sebagainya.

Kalaulah kita belum mampu secara maksimal melakukan ketaatan kepada Allah dengan harta maka bukan berarti pintu ketaatan tertutup bagi kita, bahkan masih banyak pintu ketaatan lainnya yang Allah syari’atkan untuk kita, seperti yang dijelaskan dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه: أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالُوْا لِلنَّبِيِّ : يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِالأُجُوْرِ, يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ: ((أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُوْنَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِمَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ)) قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ، وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟! قَالَ: ((أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ لَوْ وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ))

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu: bahwa segolongan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

“Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala-pahala, mereka shalat sebagaimana kami pun shalat, mereka puasa sebagaimana kami pun puasa, tetapi mereka bisa bershadaqah dengan kelebihan harta mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang bisa kalian shadaqahkan? Sesungguhnya setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah dan setiap tahlil adalah shadaqah; amar ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan) adalah shadaqah, nahi munkar (mencegah dari kemunkaran) adalah shadaqah dan (bahkan) pada kemaluan salah seorang dari kalian terdapat shadaqah.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami yang menumpahkan syahwatnya itu memperoleh pahala?” Beliau bersabda: “Apa pendapat kalian, seandainya dia meletakkannya pada yang haram, bukankah dia memperoleh dosa? Maka demikian juga, seandainya dia meletakkannya pada yang halal maka dia memperoleh pahala.” (HR. Muslim no.1006)

Kedudukan Hadits Ini :


Hadits ini mempunyai kedudukan yang begitu penting, karena mengandung beberapa perkara yang penting, di antaranya:

1. Tempat untuk berlomba-lomba (dalam kebaikan)
2. Banyaknya jalan kebaikan, sehingga seandainya seorang hamba lemah (tidak mampu) pada sebagiannya maka dia mampu pada bagian yang lainnya.
3. Perkara-perkara yang mubah akan menjadi amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) dengan adanya niat yang baik.
4. Bolehnya qiyas (yaitu qiyaasul ‘aks)




Kamis, 26 April 2018

#Malam Nisfu Sya'ban

Ba'da Maghrib ( 30 April 2018 ) Malam ke . 15  bulan Sya' ban Nabi Sholallohu Alaihi Wassallam bersabda ,,,,
" Barangsiapa yg memberitahukan berita datang nya bulan Sya' bankepada yang lain, maka haram api neraka baginya ."
di anjurkan membaca ,,,, - Surah Yasin  ( 3x )

Surah Yasin ke .1

" Di baca untuk memohon panjang Umur dan keTaatan serta keTaq waan dan dapat istiqomah kepada Alloh Ta'ala ."

Surah Yasin ke .2

" Di baca untuk memohon di luas kan Rezeqi yg halal & menolak Bala ."

Surah Yasin ke 3

" Di baca untuk memohon ditetapkannya Iman Islam hingga Akhir hayat ."


Derdo'alah secara khusyu' ...
meminta apa apa yg tersirat dalam hati  ,

Karena malam nisfu Sya' ban adalah malam yg sangat di ijabah
untuk di qobul semua doa doa &
hajat hajat yang di inginkan

Para Ulama menyatakan bahwa
Malam nisfu Sya' ban juga di namakan malam pengampunan
atau malam Maghfiroh .

Imam Al Gozhali RA. mengistilahkan malam nisfu
Sya' ban sebagai malam yg penuh
dg Syafaat ( pertolongan )  menurut beliau ..

Malam ke 13 bulan Sya' ban Alloh
memberikan 3 Syafaat kepada hamba - NYA

Malam ke .14 " seluruh Syafaat di berikan secara penuh ."

Malam ke .15
 " Umat islam dapat memiliki banyak sekali kebaikkan sebagai penutup catatan amalnya selama satu tahun ."

Karena pada malam itu Alloh Ta'ala menurunkan pengampunan kepada seluruh penduduk bumi terutama kepada hamba hambanya yg Sholeh .


Doa ,,

" Allohumma bariklana fii Sya' bana wa Romadhona ."

artinya ,

" Yaa ,Alloh berilah ke berkahan di bulan Sya' ban dan sampaikanlah umurku menjumpai bulan Romadhon ."

Baca ,
- .Astaghfirulloh al Adzim ( 100x )
,- Tahmid & Takbir.             ( 100 x)
- Sholawat Nabi.                 ( 100x )

dan dzikir dzikir lainnya ..

Wallohu Alam ,
Semoga manfaat

Selasa, 24 April 2018

4 hal membawa nikmat, anda mau?



Rasululullah shallallahu’alaihiwasallam bercerita,

سَأَلَ مُوسَى رَبَّهُ: مَا أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً؟ قَالَ: هُوَ رَجُلٌ يَجِىءُ بَعْدَ مَا أُدْخِلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ فَيُقَالُ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ. فَيَقُولُ: أَىْ رَبِّ كَيْفَ وَقَدْ نَزَلَ النَّاسُ مَنَازِلَهُمْ وَأَخَذُوا أَخَذَاتِهِمْ؟ فَيُقَالُ لَهُ: أَتَرْضَى أَنْ يَكُونَ لَكَ مِثْلُ مُلْكِ مَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ الدُّنْيَا؟ فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ. فَيَقُولُ: لَكَ ذَلِكَ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ. فَقَالَ فِى الْخَامِسَةِ: رَضِيتُ رَبِّ. فَيَقُولُ: هَذَا لَكَ وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ وَلَكَ مَا اشْتَهَتْ نَفْسُكَ وَلَذَّتْ عَيْنُكَ. فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ…”.

“(Suatu saat) Nabi Musa bertanya kepada Allah, ”Bagaimanakah keadaan penghuni surga yang paling rendah derajatnya?”. Allah menjawab, “Seorang yang datang (ke surga) setelah seluruh penghuni surga dimasukkan ke dalamnya, lantas dikatakan padanya, “Masuklah ke surga!”. “Bagaimana mungkin aku masuk ke dalamnya wahai Rabbi, padahal seluruh penghuni surga telah menempati tempatnya masing-masing dan mendapatkan bagian mereka” jawabnya. Allah berfirman, “Relakah engkau jika diberi kekayaan seperti raja-raja di dunia?”. “Saya rela wahai Rabbi” jawabnya. Allah kembali berfirman, “Engkau akan Kukaruniai kekayaan seperti itu, ditambah seperti itu lagi, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu dan ditambah seperti itu lagi”. Kelima kalinya orang itu menyahut, “Aku rela dengan itu wahai Rabbi”. Allah kembali berfirman, “Itulah bagianmu ditambah sepuluh kali lipat darinya, plus semua yang engkau mauim serta apa yang indah di pandangan matamu”. Orang tadi berkata, “Aku rela wahai Rabbi”…”. HR. Muslim  dari al-Mughîrah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu.

Seorang muslim yang mendengar hadits di atas atau yang semisal, ia akan semakin merindukan untuk meraih kemenangan masuk ke surga Allah kelak. Bagaimana tidak? Sedangkan orang yang paling rendah derajatnya di surga saja sedemikian mewah kenikmatan yang akan didapatkan di surga, lantas bagaimana dengan derajat yang di atasnya? Bagaimana pula dengan orang yang menempati derajat tertinggi di surga? Pendek kata mereka akan mendapatkan kenikmatan yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an,

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ”.

Artinya: “Seseorang tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka; yaitu (bermacam-macam kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. QS. As-Sajdah: 17.

Namun anehnya ternyata masih banyak di antara kaum muslimin yang tidak ingin masuk surga, sebagaimana telah disinggung oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam haditsnya,

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى” قَالُوا: “يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى؟” قَالَ: “مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى”.


“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan (untuk masuk surga)?”. Beliau menjawab, “Barang siapa yang taat padaku maka ia akan masuk surga, dan barang siapa yang tidak mentaatiku berarti ia telah enggan (untuk masuk surga)”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Jadi tidak setiap yang mendambakan surga, kelak akan mendapatkannya; karena surga memiliki kunci untuk memasukinya; barang siapa yang berhasil meraihnya di dunia; niscaya ia akan merasakan manisnya kenikmatan surga kelak di akhirat, sebaliknya barang siapa yang gagal merengkuhnya; maka ia akan tenggelam dalam kesengsaraan siksaan neraka.

Kunci tersebut ada empat, yang secara ringkas adalah:
1.Ilmu.
2.Amal.
3.Dakwah.
4.Sabar.

Empat kunci ini telah Allah subhanahu wa ta’ala isyaratkan dalam surat al-‘Ashr:

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ”.

Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang (1) beriman[1], (2) beramal shalih, (3) saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan (4) saling nasehat menasehati dalam kesabaran”. QS. Al-‘Ashr: 1-3.

Sedemikian agungnya surat ini, sampai-sampai Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya melainkan hanya surat ini; niscaya itu telah cukup”[2].

Berikut penjabaran ringkas, masing-masing dari empat kunci tersebut di atas:

1. Ilmu:

Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam.

Ilmu yang dibutuhkan oleh seorang insan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, wajib hukumnya untuk dicari oleh setiap muslim dan muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ


“Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu Majah dari Anas bin Mâlik ط, dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albâni dalam tahqiqnya atas Misykâh al-Mashâbîh.

Di antara beragam disiplin mata ilmu agama, yang seharusnya mendapatkan prioritas pertama dan utama untuk dipelajari dan didalami terlebih dahulu oleh setiap muslim adalah: ilmu tauhid. Karena itulah pondasi Islam dan inti dakwah seluruh rasul dan nabi. Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ”.

Artinya: “Dan telah Kami utus seorang rasul di setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut”. QS. An-Nahl: 36.

2. Amal:

‘Perjalanan suci’ seorang hamba setelah memiliki ilmu belum usai, namun masih ada ‘fase sakral’ yang menantinya; yaitu mengamalkan ilmu yang telah ia miliki tersebut. Ilmu hanyalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal.

Demikianlah urutan yang ideal antara dua hal ini; ilmu dan amal. Sebelum seorang beramal ia harus memiliki ilmu tentang amalan yang akan ia kerjakan, begitupula jika kita telah memiliki ilmu, kita harus mengamalkan ilmu tersebut.

Seorang yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya akan dicap menyerupai orang-orang Yahudi, dan mereka merupakan golongan yang dimurkai oleh Allah ta’ala, sebaliknya orang-orang yang beramal namun tidak berlandaskan ilmu, mereka akan dicap menyerupai orang-orang Nasrani, dan merupakan golongan yang tersesat. Dua golongan ini Allah singgung dalam ayat terakhir surat al-Fatihah:

اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ”.

Artinya: “Tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus. Yaitu jalan golongan yang engkau karuniai kenikmatan atas mereka, bukan (jalannya) golongan yang dimurkai ataupun golongan yang tersesat“. QS. Al-Fatihah: 6-7.

3. Dakwah:

Setelah seorang hamba membekali dirinya dengan ilmu dan amal, dia memiliki kewajiban untuk ‘melihat’ kanan dan kirinya, peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Kepedulian itu ia apresiasikan dengan bentuk ‘menularkan’ dan mendakwahkan ilmu yang telah ia raih dan ia amalkan kepada orang lain.

Inilah fase ketiga yang seharusnya dititi oleh seorang muslim, setelah ia melewati dua fase di atas. Dia berusaha untuk mengajarkan ilmu yang ia miliki kepada orang lain, terutama keluarganya terlebih dahulu, dalam rangka meneladani metode dakwah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang Allah ceritakan dalam firman-Nya,

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.

Artinya: “Dan berilah peringatan (terlebih dahulu) kepada keluarga terdekatmu”. QS. Asy-Syu’arâ’: 214.

Tidak sepantasnya seorang da’i menyibukkan dirinya untuk mendakwahi orang lain di mana-mana lalu ‘menterlantarkan’ keluarganya sendiri; sebab sebelum ia ‘mengurusi’ orang lain, ia memiliki kewajiban untuk ‘mengurusi’ keluarganya terlebih dahulu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً”.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. QS. At-Tahrîm: 6.

Dalam berdakwah terhadap keluarga maupun kepada orang lain, kita dituntut untuk senantiasa mengedepankan sikap hikmah, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala,

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ”.

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan jalan yang baik”. QS. An-Nahl: 125.

Inilah kunci ketiga yang akan mengantarkan seorang hamba ke surga. Namun seseorang tidak dibenarkan untuk langsung meloncat ke fase ketiga ini (yakni dakwah) tanpa melalui dua fase sebelumnya (yakni ilmu dan amal); karena jika demikian halnya ia akan menjadi seorang yang sesat dan menyesatkan ataupun menjadi seorang yang amat dibenci oleh Allah ta’ala.

Mereka yang berdakwah tanpa ilmu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sifati dalam sabdanya sebagai  orang yang sesat dan menyesatkan,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا؛ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

.

“Sesungguhnya Allah tidak melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan cara mencabut ilmu tersebut dari para hamba-Nya, namun Allah akan melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan meninggalnya para ulama; hingga jika tidak tersisa seorang ulamapun, para manusia menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai panutan, mereka menjadi rujukan lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat dan menyesatkan“. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, dengan redaksi Bukhari.

Sedangkan mereka yang berdakwah kemudian tidak mengamalkan apa yang didakwahkannya, Allah ta’ala cela dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ”.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika laian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. QS. Ash-Shaff: 2-3.

4. Sabar

Kesabaran dibutuhkan oleh setiap muslim ketika ia mencari ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya; karena tiga fase ini susah dan berat.

Proses pencarian ilmu membutuhkan semangat ’empat lima’ dan kesungguhan, sebagaima disitir oleh Yahya bin Abi Katsir :, “Ilmu tidak akan didapat dengan santai-santai”.

Pengamalan ilmu juga membutuhkan kesabaran, karena hal itu merupakan salah satu jalan yang utama yang mengantarkan seorang hamba ke surga, dan jalan menuju ke surga diliputi dengan hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu. Dalam hadits shahih disebutkan,

حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ”.

“(Jalan menuju ke) surga diliputi dengan hal-hal yang dibenci (nafsu), sedangkan (jalan menuju ke) neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu”. HR. Muslim dari Anas bin Mâlik radhiyallahu’anhu.

Tidak ketinggalan, dakwah juga membutuhkan kesabaran, karena itu merupakan jalan yang dititi para rasul dan nabi.

Sa’ad radhiyallahu’anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya? Beliau shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “Para nabi lalu mereka yang memiliki keutamaan yang tinggi, lalu yang di bawah mereka…”. HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hasan shahih”, demikian pula komentar Syaikh al-Albani.

Inilah empat kunci masuk surga, semoga Allah ta’ala melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa meraihnya, amin.

Wallahu ta’ala a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.