Hidup di dunia yang sementara ini, beragam aktifitas
pekerjaan yang dilakukan sehari-hari hanya karena terdorong oleh berbagai macam
maksud dan tujuan. Ada yang bernilai tinggi, ada juga yang bernilai rendah.
Suatu pekerjaan bernilai tinggi karena adanya niat yang benar lillahi ta’ala,
sebaliknya bernilai rendah dan murahan karena didasari niat mencari perhatian
dan pamrih tertentu, bahkan ada juga yang bekerja tanpa didasari dengan
motivasi yang jelas sehingga kerjanya menjadi sia-sia (tidak memberikan manfaat
untuk dirinya dan orang lain).
Bercermin dari firman Allah swt. Dalam Al Qur’an: ” Dan
katakanlah (Muhammad), bekerjalah kamu maka Allah dan Rasulnya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan di kembalikan kepada
(Allah) Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan nyata, lalu diberitahukan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (Attaubah: 105). Dalam ayat ini
terdapat penjelasan bahwa amal baik yang serukan Allah kepada Rasul-Nya adalah
pekerjaan yang dapat dipertanggung jawabkan dihadapan Allah, kepada Rasulullah,
dan kepada orang-orang yang beriman.
Artinya amal perbuatan tersebut dikerjakan hanya karena
mencari keridhaan Allah, terdorong dengan niat yang ikhlas, berlandaskan iman
dan takwa, serta adanya niat khidmah yang tulus tanpa pamrih. Kata amal yang
disebutkan dalam ayat “i’maluu/ amal” mengandung arti “bekerjalah/ kerja”. Amal
yang dimaksudkan bukan bermakna khusus yang hanya terbatas amalan sholat,
puasa, haji dan sebagainya, akan tetapi amal yang dimaksudkan adalah meliputi
semua pekerjaan yang bernilai ibadah.
Penulis teringat ada pelajaran penting di Pesantren yang
ditulis oleh syaikh Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al Muta’llim bahwa semua
pekerjaan/ aktifitas berpeluang mendapatkan balasan baik dan buruk dari Allah,
” betapa banyak aktifitas yang terkesan duniawi akan tetapi bernilai ukhrowi
karena niat yang baik, begitu juga sebaliknya betapa banyak aktifitas yang yang
terkesan ukhrowi tetapi bernilai duniawi karena niat yang salah”. Dalam Al
Qur’an sering berpasangan antara kata “amal” dan “shaleh”. Hal ini mengandung
arti bahwa apapun pekerjaan yang kita lakukan, harus mengandung dan memberikan
nilai kebaikan (nilai positif) kepada orang lain dan bukan sebaliknya.
Mengapa kita harus bekerja dengan ikhlas? Karena dengan
ikhlas manusia akan menemukan eksistensi dirinya, mendapatkan fitrahnya bahwa
hidup ini akan menjadi bernilai bila manusia ada dalam bekerja, dan setiap
kerja yang ikhlas akan membawa kebahagiaan bagi yang bersangkutan. Karena itu,
Islam tidak suka kepada orang yang menganggur, berpangku tangan mengharapkan
pemberian orang lain, mengharap iba dan pemberian orang. Islam mewajibkan
pemeluknya untuk beramal sebanyak-banyaknya untuk kemaslahatan diri dan orang
lain.
Ada ungkapan yang menarik yang kita bisa ambil hikmahnya
dalam mengisi aktifitas sehari-hari sebelum datang hari yang pembalasan (yaum
al jaza’), “amal adalah sendi agama”, menjadi pejabat di pusat atau daerah,
menjadi petani di sawah atau di ladang, menjadi pedagang di toko atau di pasar,
menjadi karyawan di pabrik ataupun di kantor semuanya adalah upaya manusia
untuk monerehkan amal shalehnya dimuka bumi. Murid belajar dan guru mengajar,
ibu mengurus rumah dan ayah mencari nafkah keluarga, tentara menjaga pertahanan
negara, sedangkan polisi menjaga keamanan rakyatnya. Semuanya berada dalam
kerangka pengabdian/ ibadah kepada Allah melalui amal shaleh masing-masing dan
dengan caranya masing-masing.
Kelak ketika seseorang meninggal dia akan berbekal amal
shaleh. Bukan uang yang di rekening tabungnya, bukan jabatan yang di
sandangnya, bukan pula rumah yang dibangunya. Karena semua akan ditinggalkannya
sejak terlepasnya ruh dari jasad. Hanya “amal shaleh” yang akan setia
menemaninya dialam barzakh. Ada amal shaleh yang akan terus tersambung
pahalanya kepada pelakunya walaupun ia sudah tak lagi berbuat (meninggal),
yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang setia
mendo’akanya. Ketiga amal ini akan mampu mengantar pelakunya bisa memetik
hasilnya kelak di akhirat apabila pelakunya tulus melakukan apa yang
dikerjakannya dengan ikhlas dan mengharap ridha Allah.
Orang yang ikhlas/ mukhkis adalah orang yang hatinya bersih
dari keinginan memperoleh pujian. Semua perkataanya, perbuatannya,
pemberiannya, penolakannya, ibadahnya dan seterusnya semua semata-mata
dilakukan hanya untuk Allah swt. Oleh karena itu, baginya pujian orang tidak
membuatnya bangga hati, dan kekecewaan serta caci maki orang tidak membuatnya
surut dalam beramal.
Manusia dengan predikat mukhlis/ ikhlas adalah orang yang
produktif bagi dirinya walaupun mungkin orang lain tak mengakuinya, seorang
mukhlis lebih suka menyembunyikan perbuatannya dari penglihatan orang lain,
mukhlis berbuat sesuatu demi Allah sedang orang yang riya melakukan sesuatu
demi pujian orang. Semoga ruh keikhlasan selalu menyertai dalam setiap denyut
nadi amal shaleh kita. Wallahu ‘Alam Bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar