Islam mencintai seorang muslim
yang giat bekerja, mandiri, apalagi rajin memberi. Sebaliknya, Islam membenci
manusia yang pemalas, suka berpangku tangan dan menjadi beban orang lain. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
“Maka carilah rizki disisi Allah..” (QS. Al
‘Ankabut [29]: 17)
Bekerja dalam pandangan Islam
begitu tinggi derajat-nya. Hingga Allah dalam Al Qur`an menggandengkannya
dengan jihad memerangi orang-orang kafir.
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ
يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“dan orang-orang yang berjalan di
muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi
berperang di jalan Allah.” (QS. Al Muzzammil [73]: 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahkan me-nyebut aktifitas bekerja sebagai jihad di jalan Allah.
Diriwayatkan, beberapa orang sahabat melihat seorang pemuda kuat yang rajin
bekerja. Mereka pun berkata mengomentari pemuda tersebut, “Andai saja ini (rajin
dan giat) dilakukan untuk jihad di jalan Allah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam segera menyela mereka dengan sabdanya, “Janganlan kamu berkata seperti
itu. Jika ia bekerja untuk menafkahi anak-anaknya yang masih kecil, maka ia
berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk menafkahi kedua orang-tuanya yang
sudah tua, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan
dirinya, maka ia pun di jalan Allah. Namun jika ia bekerja dalam rangka riya
atau berbangga diri, maka ia di jalan setan.” (HR Thabrani, dinilai shahih oleh
Al Albani)
Manusia paling mulia di muka bumi
ini adalah para nabi. Tugas yang mereka emban di dunia ini sangat mulia, yaitu
berdakwah kepada agama Allah dan mengajarkan risalahnya kepada manusia yang
lain. Allah sering mengisahkan kepada kita perjuangan dakwah mereka dalam Al
Qur`an. Namun begitu, Allah dalam Al Qur`an juga menyebutkan sisi lain dari
kehidupan mereka. Mereka juga seperti manusia yang lain pada umumnya, termasuk
dalam hal bekerja dan mencari penghidupan. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ
“dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul
sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.”
(QS. Al Furqan [25]: 20)
Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya
berkata, “Maksud-nya, mereka mencari penghidupan di dunia.. ayat ini merupakan
landasan disyariatkannya bekerja mencari penghasilan baik dengan berniaga,
produksi atau yang lainnya.”
Nabi Adam bertani, Ibrahim
menjual pakaian, Nuh dan Zakaria tukang kayu, Idris Penjahit dan Musa
penggembala. Allah mengisahkan dalam Al Qur`an bahwa Nabi Dawud membuat baju
besi.
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ
لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ
“dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat
baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam pepe–ranganmu; Maka hendaklah
kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al Anbiya [21]: 80)
“dan Sesungguhnya telah Kami
berikan kepada Daud kurnia dari kami. (kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan
burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah
melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan
ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya aku melihat
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Saba` [34]: 10-11)
Nabi kita yang mulia juga
mengabarkan, bahwa beliau pernah bekerja sebagai penggembala kambing. “Tidaklah
Allah mengutus seorang nabi melainkan pernah menjadi penggembala kambing.” Para
sahabat berkata, “Begitu juga engkau?” beliau bersabda, “Ya, aku pernah
menggembala kambing penduduk Makkah dengan upah sejumlah uang.” (HR Bukhari)
Baginda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga berdagang. Beliau pernah melakukan perjalanan bisnis ke
negeri Syam untuk menjual barang-barang dagangan milik Khadijah radhiyallahu
‘anha.
Oleh karena itu semua, Islam
sangat mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha mencari penghidupan. Allah
berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ
ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah yang menjadikan bumi itu
mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian
dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
(QS. Al Mukl [67]: 15)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا
فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“apabila telah ditunaikan shalat,
Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah [62]: 10)
Ibnu Katsir menyebutkan dalam
tafsirnya, “Diriwayat-kan dari sebagian salaf bahwa ia berkata, “Barangsiapa
yang membeli atau menjual sesuatu pada hari jumat setelah shalat, Allah akan
memberkahi untuknya 70 kali.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari
makanan yang dihasilkan dari pekerjaan tangannya sendiri.” (HR Bukhari)
Semangat ini juga difahami oleh
para sahabat yang mulia –semoga Allah meridhai mereka. Mereka juga para
pekerja. Diriwayatkan Abu Bakar penjual pakaian, Umar bekerja mengurusi kulit,
Utsman bin Affan pedagang, Ali bin Abi Thalib bekerja sebagai pegawai lebih
dari satu kali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Begitu juga para sahabat
yang lain seperti Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Az Zubai bin Al
Awwam, Amr bin al Ash dan yang lainnya memiliki pekerjaan masing-masing dalam
rangka mencari penghidupan di dunia ini.
Agar Bekerja Bernilai Ibadah
Telah dijelaskan bahwa Islam
mendorong umatnya untuk bekerja, hidup dalam kemuliaan dan tidak menjadi beban
orang lain. Islam juga memberi kebebasan dalam memilih pekerjaan yang sesuai
dengan kecenderungan dan kemampuan setiap orang. Namun demikian, Islam mengatur
batasan-batasan, meletakkan prinsip-prinsip dan menetapkan nilai-nilai yang
harus dijaga oleh seorang muslim, agar kemudian aktifitas bekerjanya
benar-benar dipandang oleh Allah sebagai kegiatan ibadah yang memberi
keuntungan berlipat di dunia dan di akhirat. Berikut ini adalah batasan-batasan
tersebut:
Pertama, pekerjaan yang dijalani
harus halal dan baik. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al
Baqarah [2]: 172)
Setiap muslim diperintahkan untuk
makan yang halal-halal saja serta hanya memberi dari hasil usahanya yang halal,
agar pekerjaan itu mendatangkan kemaslahatan dan bukan justru menimbulkan
kerusakan. Itu semua tidak dapat diwujudkan, kecuali jika pekerjaan yang
dilakukannya termasuk kategori pekerjaan yang dihalalkan oleh Islam. Maka tidak
boleh bagi seorang muslim bekerja dalam bidang-bidang yang dianggap oleh Islam
sebagai kemaksiatan dan akan menimbulkan kerusakan. Diantara bentuk pekerjaan
yang diharamkan oleh Islam adalah membuat patung, memproduksi khamr dan jenis
barang yang memamukkan lainnya, berjudi atau bekerja dalam pekerjaan yang
mengan-dung unsur judi, riba, suap-menyuap, sihir, ternak babi, mencuri,
merampok, menipu dan memanipulasi dan begitu pula seluruh pekerjaan yang
termasuk membantu perbuatan haram seperti menjual anggur kepada produsen arak,
menjual senjata kepada orang-orang yang memerangi kaum muslimin, bekerja di
tempat-tempat maksiat yang melalaikan dan merusak moral manusia dan lain
sebagainya.
Kedua, bekerja dengan profesional
dan penuh tanggungjawab. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk sekedar
bekerja, akan tetapi mendorong umatnya agar senantiasa bekerja dengan baik dan
bertanggungjawab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencintai
seorang diantara ka-lian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR
Baihaqi, dinilai shahih oleh Al Albani dalam “Silsilah As Shahihah”)
Beliau juga bersabda,
“Sesungguhnya Allah mewajib-kan perbuatan ihsan atas segala sesuatu.” (HR
Muslim)
Yang dimaksud dengan profesional
dalam bekerja adalah, merasa memiliki tanggungjawab atas pekerjaan tersebut,
memperhatikan dengan baik urusannya dan berhati-hati untuk tidak melakukan kesalahan.
Ketiga, ikhlas dalam bekerja,
yaitu meniatkan aktifitas bekerjanya tersebut untuk mencari ridho Allah dan
beribadah kepada-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niat. Dan setiap orang akan
mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR Bukhari Muslim)
Niat sangat penting dalam
bekerja. Jika kita ingin pekerjaan kita dinilai ibadah, maka niat ibadah itu
harus hadir dalam sanubari kita. Segala lelah dan setiap tetesan keringat
karena bekerja akan dipandang oleh Allah sebagai ketundukan dan amal shaleh
disebabkan karena niat. Untuk itulah, jangan sampai kita melupakan niat
tersebut saat kita bekerja, sehingga kita kehilangan pahala ibadah yang sangat
besar dari pekerjaan yang kita jalani itu.
Keempat, tidak melalaikan
kewajiban kepada Allah. Bekerja juga akan bernilai ibadah jika pekerjaan apa
pun yang kita jalani tidak sampai melalaikan dan melupakan kita dari
kewajiban-kewajiban kepada Allah. Sibuk bekerja tidak boleh sampai membuat kita
meninggalkan kewajiban. Shalat misalnya. Ia adalah kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim. Maka, jangan sampai kesibukan bekerja mencari
karunia Allah mengakibatkan ia meninggalkan shalat walau pun hanya satu kali.
Begitu pula dengan kewajiban yang lainnya, seperti zakat, puasa, haji,
bersilaturahmi dan ibadah-ibadah wajib lainnya.
Itulah beberapa prinsip dan etika
penting yang harus dijaga oleh siapa saja yang tengah bekerja untuk mencukup
diri dan keluarga yang berada dalam tanggungannya. Bekerja adalah tindakan
mulia. Keuntungan dunia dapat diraih dengannya. Namun bagi seorang muslim,
hendaknya bekerja menjadi memiliki keuntungan ganda, keuntungan di dunia dengan
terkumpulnya pundi-pundi kekayaan, dan di akhirat dengan pahala melimpah dan
kenikmatan surga karena nilai ibadah yang dikandungnya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar