Arsip Blog

Jumat, 17 Agustus 2018

Bekerja Dengan Ikhlas

Hidup di dunia yang sementara ini, beragam aktifitas pekerjaan yang dilakukan sehari-hari hanya karena terdorong oleh berbagai macam maksud dan tujuan. Ada yang bernilai tinggi, ada juga yang bernilai rendah. Suatu pekerjaan bernilai tinggi karena adanya niat yang benar lillahi ta’ala, sebaliknya bernilai rendah dan murahan karena didasari niat mencari perhatian dan pamrih tertentu, bahkan ada juga yang bekerja tanpa didasari dengan motivasi yang jelas sehingga kerjanya menjadi sia-sia (tidak memberikan manfaat untuk dirinya dan orang lain).

Bercermin dari firman Allah swt. Dalam Al Qur’an: ” Dan katakanlah (Muhammad), bekerjalah kamu maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan di kembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (Attaubah: 105). Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa amal baik yang serukan Allah kepada Rasul-Nya adalah pekerjaan yang dapat dipertanggung jawabkan dihadapan Allah, kepada Rasulullah, dan kepada orang-orang yang beriman.

Artinya amal perbuatan tersebut dikerjakan hanya karena mencari keridhaan Allah, terdorong dengan niat yang ikhlas, berlandaskan iman dan takwa, serta adanya niat khidmah yang tulus tanpa pamrih. Kata amal yang disebutkan dalam ayat “i’maluu/ amal” mengandung arti “bekerjalah/ kerja”. Amal yang dimaksudkan bukan bermakna khusus yang hanya terbatas amalan sholat, puasa, haji dan sebagainya, akan tetapi amal yang dimaksudkan adalah meliputi semua pekerjaan yang bernilai ibadah.

Penulis teringat ada pelajaran penting di Pesantren yang ditulis oleh syaikh Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al Muta’llim bahwa semua pekerjaan/ aktifitas berpeluang mendapatkan balasan baik dan buruk dari Allah, ” betapa banyak aktifitas yang terkesan duniawi akan tetapi bernilai ukhrowi karena niat yang baik, begitu juga sebaliknya betapa banyak aktifitas yang yang terkesan ukhrowi tetapi bernilai duniawi karena niat yang salah”. Dalam Al Qur’an sering berpasangan antara kata “amal” dan “shaleh”. Hal ini mengandung arti bahwa apapun pekerjaan yang kita lakukan, harus mengandung dan memberikan nilai kebaikan (nilai positif) kepada orang lain dan bukan sebaliknya.

Mengapa kita harus bekerja dengan ikhlas? Karena dengan ikhlas manusia akan menemukan eksistensi dirinya, mendapatkan fitrahnya bahwa hidup ini akan menjadi bernilai bila manusia ada dalam bekerja, dan setiap kerja yang ikhlas akan membawa kebahagiaan bagi yang bersangkutan. Karena itu, Islam tidak suka kepada orang yang menganggur, berpangku tangan mengharapkan pemberian orang lain, mengharap iba dan pemberian orang. Islam mewajibkan pemeluknya untuk beramal sebanyak-banyaknya untuk kemaslahatan diri dan orang lain.

Ada ungkapan yang menarik yang kita bisa ambil hikmahnya dalam mengisi aktifitas sehari-hari sebelum datang hari yang pembalasan (yaum al jaza’), “amal adalah sendi agama”, menjadi pejabat di pusat atau daerah, menjadi petani di sawah atau di ladang, menjadi pedagang di toko atau di pasar, menjadi karyawan di pabrik ataupun di kantor semuanya adalah upaya manusia untuk monerehkan amal shalehnya dimuka bumi. Murid belajar dan guru mengajar, ibu mengurus rumah dan ayah mencari nafkah keluarga, tentara menjaga pertahanan negara, sedangkan polisi menjaga keamanan rakyatnya. Semuanya berada dalam kerangka pengabdian/ ibadah kepada Allah melalui amal shaleh masing-masing dan dengan caranya masing-masing.

Kelak ketika seseorang meninggal dia akan berbekal amal shaleh. Bukan uang yang di rekening tabungnya, bukan jabatan yang di sandangnya, bukan pula rumah yang dibangunya. Karena semua akan ditinggalkannya sejak terlepasnya ruh dari jasad. Hanya “amal shaleh” yang akan setia menemaninya dialam barzakh. Ada amal shaleh yang akan terus tersambung pahalanya kepada pelakunya walaupun ia sudah tak lagi berbuat (meninggal), yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang setia mendo’akanya. Ketiga amal ini akan mampu mengantar pelakunya bisa memetik hasilnya kelak di akhirat apabila pelakunya tulus melakukan apa yang dikerjakannya dengan ikhlas dan mengharap ridha Allah.

Orang yang ikhlas/ mukhkis adalah orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian. Semua perkataanya, perbuatannya, pemberiannya, penolakannya, ibadahnya dan seterusnya semua semata-mata dilakukan hanya untuk Allah swt. Oleh karena itu, baginya pujian orang tidak membuatnya bangga hati, dan kekecewaan serta caci maki orang tidak membuatnya surut dalam beramal.

Manusia dengan predikat mukhlis/ ikhlas adalah orang yang produktif bagi dirinya walaupun mungkin orang lain tak mengakuinya, seorang mukhlis lebih suka menyembunyikan perbuatannya dari penglihatan orang lain, mukhlis berbuat sesuatu demi Allah sedang orang yang riya melakukan sesuatu demi pujian orang. Semoga ruh keikhlasan selalu menyertai dalam setiap denyut nadi amal shaleh kita. Wallahu ‘Alam Bisshawab.