Arsip Blog

Jumat, 19 Januari 2018

Mencintai Tanah Air, Memaklumi Keberagaman

Suatu hari sebuah keluarga hendak mengecat rumah mereka dengan warna yang baru. Sang istri yang warna favoritnya adalah merah muda ingin rumahnya dicat dengan warna serba pink. Tapi sang suami berkemauan lain. Ia tidak begitu berselera dengan warna semacam ini. Ia lebih suka dinding rumahnya memiliki warna serbaputih. Anak-anak mereka bisa jadi berangan-angan warna lain tentang tembok kediaman mereka. Lantas bagaimana keputusannya? Dilakukanlah sebuah musyawarah antaranggota keluarga tentang warna cat rumah yang sesuai dengan kesepakatan semua pihak. Mereka saling berargumen, saling memberi masukan. Sempat berdebat keras tapi masing-masing segera bisa meredamnya karena khawatir merusak keharmonisan rumah tangga. Singkat cerita, disepakatilah warna kuning yang memiliki karakter cerah sebagaimana pink dan putih. Menurut mereka kuning juga memiliki arti kehangatan, optimism, dan rasa bahagia. Mereka berharap ada ketenteraman (sakînah) pada keluarga kecil mereka.

Cerita tersebut hanyalah ilustrasi tentang dinamika perbedaan pendapat, selera, lalu proses mengatasinya. Kasusnya adalah keluarga, unit terkecil dalam masyarakat. Cara yang sama juga bisa terjadi dalam lingkup yang lebih besar: RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan bahkan negara.

Yang menarik dari ilustrasi tersebut adalah bagaimana mereka mengelola perbedaan, memaklumi selera yang beragam, dan menempuh jalan musyawarah sebagai metode mempertemukan titik-titik kesepakatan. Apa yang membuat mereka berkepentingan untuk sampai pada titik kesepakatan itu? Tidak lain adalah karena mereka lebih mendahulukan kepentingan keluarga daripada selera diri sendiri, mencitai rumah tangga mereka melebihi menuruti keinginan pribadi. Masing-masing dari mereka menempatkan kedamaian, harmoni, dan ketenteraman keluarga sebagai hal yang prioritas di atas perbedaan kehendak yang sifatnya sekunder saja.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini pun demikian. Keragaman adalah sunnatullah, keniscayaan yang sudah Allah takdirkan. Dengan jumlah orang yang demikian besar, tinggal di wilayah dengan kondisi geografis berbeda, lingkungan masyarakat yang beragam, dan isi pikiran yang bermacam-macam, tidak mengherankan bila riak-riak perselisihan hampir senantiasa ada. Ini bukan sesuatu yang selalu negatif meski bukan berarti layak didiamkan hingga meningkat ke level permusuhan dan perpecahan.


يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ


Artinya: "Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa". (Q.S. al-Hujarat:13).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa keragaman jenis kelamin, suku, dan bangsa sengaja diciptakan oleh Allah. Al-Qur’an menggunakan istilah “khalaqnâkum” (telah Kami ciptakan). Namun demikian, Al-Qur’an mengajak kita semua untuk saling memahami satu sama lain karena pada dasarnya setiap orang adalah setara, yang membedakan mereka di sisi Allah adalah derajat ketakwaannya. Dalam hal ini, pesan ayat tersebut selaras dengan anjuran bermusyawarah dalam Islam. Musyawarah merupakan ikhtiar mendudukkan perkara secara arif dengan mendiskusikannya bersama pihak-pihak lain guna menemukan titik persetujuan tertentu.

Fakta tentang kebinekaan dan musyawarah sebagai metode penyelesaian masalah tidaka akan berjalan tanpa masing-masing pihak memiliki kesadaran akan pentingnya menjunjung tinggi kemaslahatan bersama. Seperti seorang suami atau istri yang mencintai rumah tangganya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengenal sikap ini dengan sebutan cinta tanah air (hubbul wathan). Cinta tanah air lebih dari sekadar cinta terhadap asal daerah tapi cinta terhadap kelangsungan hidup masyarakat di atasnya dengan segenap kemajemukannya.

Turunan dari cinta tanah air ini antara lain adalah jiwa patriotik ketika negara kita dijajah dan dizalimi sebagaimana Rasulullah membela umatnya ketika mendapat serangan dari kaum musyrikin; juga menurunnya tensi egosentrisme, dan melihat persoalan dalam konteks kepentingan bersama. Dalam kaidah fiqih disebutkan:

المُتَعَدِّيْ أَفْضَلُ مِنَ اْلقَاصِرِ

Sesuatu yang manfaatnya dirasakan masyarakat luas itu lebih utama ketimbang sesuatu yang manfaatnya hanya dirasakan diri sendiri.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, ulama-ulama kita pernah mempraktikkan hal ini. Proses pendirian negara-bangsa Indonesia dilingkupi dinamika pikiran dan sosial yang luar biasa dari berbagai penjuru. Namun cerita itu akhirnya berhenti pada kesepakatan pilihan akan Pancasila, lima dasar negra yang bisa diterima seluruh pihak dan tidak bertentangan—bahkan selaras—dengan substansi ajaran Islam.

Oleh karena itu sebagian ulama kita menyebut Indonesia sebagai darul mu‘âhadah (negara kesepakatan). Indonesia dibentuk dari ijtihad para pendirinya yang mementingkan kemaslahatan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Ia berangkat dari fakta keragaman kehendak dan melewati musyawarah yang bermartabat.

Ketika ada sebagian orang yang mengatakan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari ‘ashabiyah (fanatisme bangsa) adalah keliru. ‘Ashabiyah lekat dengan tradisi masyarakat jahiliyah yang gemar melakukan pertumpahan darah antarsuku akibat fanatisme golongan. Rasulullah hadir di antaranya membawa misi memberantas penyakit sosial ini. Cinta tanah air justru menghendaki dibuangnya fanatisme kesukuan atau budaya tertentu untuk kemudian fokus pada kepentingan bersama sebagai bangsa yang bersatu, bangsa Indonesia. Cinta tanah air juga tidak otomatis membenarkan adanya kebencian terhadap tanah air orang lain. ‘Ashabiyah memicu perpecahan, sementara cinta tanah air punya semangat mempersatukan.

Sebagaimana dipraktikkan Nabi di Madinah, masyarakat bersatu dalam naungan Watsiqatul Madînah (Piagam Madinah), butir-butir kesepakatan di kalangan penduduk Madinah kala itu yang beragam. Mereka mencintai tanah air dan memaklumi pluralitas di dalamnya. Karena itu dibuatlah perjanjian atau kontrak sosial yang melindungi semuanya secara setara dan memberikan dampak hukum bagi para pelanggarnya. Piagam Madinah ini disebut-sebut sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang kini berkembang di dunia modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar