Suatu hari sebuah keluarga hendak
mengecat rumah mereka dengan warna yang baru. Sang istri yang warna favoritnya
adalah merah muda ingin rumahnya dicat dengan warna serba pink. Tapi sang suami
berkemauan lain. Ia tidak begitu berselera dengan warna semacam ini. Ia lebih
suka dinding rumahnya memiliki warna serbaputih. Anak-anak mereka bisa jadi
berangan-angan warna lain tentang tembok kediaman mereka. Lantas bagaimana
keputusannya? Dilakukanlah sebuah musyawarah antaranggota keluarga tentang
warna cat rumah yang sesuai dengan kesepakatan semua pihak. Mereka saling
berargumen, saling memberi masukan. Sempat berdebat keras tapi masing-masing
segera bisa meredamnya karena khawatir merusak keharmonisan rumah tangga.
Singkat cerita, disepakatilah warna kuning yang memiliki karakter cerah
sebagaimana pink dan putih. Menurut mereka kuning juga memiliki arti
kehangatan, optimism, dan rasa bahagia. Mereka berharap ada ketenteraman
(sakînah) pada keluarga kecil mereka.
Cerita tersebut hanyalah
ilustrasi tentang dinamika perbedaan pendapat, selera, lalu proses
mengatasinya. Kasusnya adalah keluarga, unit terkecil dalam masyarakat. Cara
yang sama juga bisa terjadi dalam lingkup yang lebih besar: RT, RW, desa,
kecamatan, kabupaten, provinsi, dan bahkan negara.
Yang menarik dari ilustrasi
tersebut adalah bagaimana mereka mengelola perbedaan, memaklumi selera yang
beragam, dan menempuh jalan musyawarah sebagai metode mempertemukan titik-titik
kesepakatan. Apa yang membuat mereka berkepentingan untuk sampai pada titik
kesepakatan itu? Tidak lain adalah karena mereka lebih mendahulukan kepentingan
keluarga daripada selera diri sendiri, mencitai rumah tangga mereka melebihi
menuruti keinginan pribadi. Masing-masing dari mereka menempatkan kedamaian,
harmoni, dan ketenteraman keluarga sebagai hal yang prioritas di atas perbedaan
kehendak yang sifatnya sekunder saja.
Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara ini pun demikian. Keragaman adalah sunnatullah, keniscayaan yang
sudah Allah takdirkan. Dengan jumlah orang yang demikian besar, tinggal di
wilayah dengan kondisi geografis berbeda, lingkungan masyarakat yang beragam,
dan isi pikiran yang bermacam-macam, tidak mengherankan bila riak-riak
perselisihan hampir senantiasa ada. Ini bukan sesuatu yang selalu negatif meski
bukan berarti layak didiamkan hingga meningkat ke level permusuhan dan
perpecahan.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ
أَتْقَاكُمْ
Artinya: "Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang saling bertaqwa". (Q.S. al-Hujarat:13).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
keragaman jenis kelamin, suku, dan bangsa sengaja diciptakan oleh Allah.
Al-Qur’an menggunakan istilah “khalaqnâkum” (telah Kami ciptakan). Namun
demikian, Al-Qur’an mengajak kita semua untuk saling memahami satu sama lain
karena pada dasarnya setiap orang adalah setara, yang membedakan mereka di sisi
Allah adalah derajat ketakwaannya. Dalam hal ini, pesan ayat tersebut selaras
dengan anjuran bermusyawarah dalam Islam. Musyawarah merupakan ikhtiar
mendudukkan perkara secara arif dengan mendiskusikannya bersama pihak-pihak
lain guna menemukan titik persetujuan tertentu.
Fakta tentang kebinekaan dan
musyawarah sebagai metode penyelesaian masalah tidaka akan berjalan tanpa
masing-masing pihak memiliki kesadaran akan pentingnya menjunjung tinggi
kemaslahatan bersama. Seperti seorang suami atau istri yang mencintai rumah
tangganya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengenal sikap ini
dengan sebutan cinta tanah air (hubbul wathan). Cinta tanah air lebih dari
sekadar cinta terhadap asal daerah tapi cinta terhadap kelangsungan hidup
masyarakat di atasnya dengan segenap kemajemukannya.
Turunan dari cinta tanah air ini
antara lain adalah jiwa patriotik ketika negara kita dijajah dan dizalimi
sebagaimana Rasulullah membela umatnya ketika mendapat serangan dari kaum
musyrikin; juga menurunnya tensi egosentrisme, dan melihat persoalan dalam konteks
kepentingan bersama. Dalam kaidah fiqih disebutkan:
المُتَعَدِّيْ أَفْضَلُ مِنَ اْلقَاصِرِ
Sesuatu yang manfaatnya dirasakan
masyarakat luas itu lebih utama ketimbang sesuatu yang manfaatnya hanya
dirasakan diri sendiri.
Dalam sejarah bangsa Indonesia,
ulama-ulama kita pernah mempraktikkan hal ini. Proses pendirian negara-bangsa
Indonesia dilingkupi dinamika pikiran dan sosial yang luar biasa dari berbagai
penjuru. Namun cerita itu akhirnya berhenti pada kesepakatan pilihan akan
Pancasila, lima dasar negra yang bisa diterima seluruh pihak dan tidak
bertentangan—bahkan selaras—dengan substansi ajaran Islam.
Oleh karena itu sebagian ulama
kita menyebut Indonesia sebagai darul mu‘âhadah (negara
kesepakatan). Indonesia dibentuk dari ijtihad para pendirinya yang mementingkan
kemaslahatan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Ia berangkat
dari fakta keragaman kehendak dan melewati musyawarah yang bermartabat.
Ketika ada sebagian orang yang
mengatakan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari ‘ashabiyah (fanatisme
bangsa) adalah keliru. ‘Ashabiyah lekat dengan tradisi
masyarakat jahiliyah yang gemar melakukan pertumpahan darah antarsuku akibat
fanatisme golongan. Rasulullah hadir di antaranya membawa misi memberantas
penyakit sosial ini. Cinta tanah air justru menghendaki dibuangnya fanatisme
kesukuan atau budaya tertentu untuk kemudian fokus pada kepentingan bersama
sebagai bangsa yang bersatu, bangsa Indonesia. Cinta tanah air juga tidak
otomatis membenarkan adanya kebencian terhadap tanah air orang lain. ‘Ashabiyah memicu
perpecahan, sementara cinta tanah air punya semangat mempersatukan.
Sebagaimana dipraktikkan Nabi di
Madinah, masyarakat bersatu dalam naungan Watsiqatul Madînah (Piagam
Madinah), butir-butir kesepakatan di kalangan penduduk Madinah kala itu yang
beragam. Mereka mencintai tanah air dan memaklumi pluralitas di dalamnya.
Karena itu dibuatlah perjanjian atau kontrak sosial yang melindungi semuanya
secara setara dan memberikan dampak hukum bagi para pelanggarnya. Piagam
Madinah ini disebut-sebut sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang
kini berkembang di dunia modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar