Dunia terus berkembang, termasuk
cara berkomunikasi kita. Dulu banyak orang harus menempuh jarak yang jauh untuk
bisa bercakap-cakap dengan orang lain di luar daerah. Sekarang, teknologi
memfasilitasi umat manusia untuk kian mudah menjalin komunikasi hanya melalui
perangkat di genggaman tangan, yakni handphone. Situasi ini melanda hampir semua
orang di berbagai belahan dunia, tak pandang agama, wilayah geografis, suku,
ras, dan etnis.
Kehadiran media sosial kian
mempermudah lagi. Dalam hitungan detik kita sudah bisa berinteraksi dan
berkirim pesan melalui tulisan, suara, gambar, bahkan video ke orang di belahan
dunia lain. Luas bumi yang mencapai lebih dari setengah miliar kilometer
persegi seolah mengkerut. Informasi beredar secara instan, kehidupan sosial
banyak bergeser ke dunia maya, dan sebagian orang bahkan rela menghabiskan
separuh waktunya untuk berselancar di internet atau media sosial.
Islam bukan agama yang anti
perubahan. Namun demikian, ia punya prinsip-prinsip yang tak boleh dilanggar.
Kita seyogianya memosisikan media sosial tak lebih dari sekadar alat, bukan
tujuan. Media sosial sebagai wasîlah, bukan ghâyah.
Kenapa? Sebagaimana pisau yang bermanfaat bila digunakan memasak dan merugikan
bila dipakai melukai orang lain, begitu pula media sosial. Dalam dirinya
terkandung potensi positif tapi sekaligus negatif.
Semakin meningkatnya pengguna
media sosial dari hari ke hari tak menjamin semakin berkualitas dari segi
pemanfaatannya. Banyak kita jumpai media sosial menjadi ajang pamer (riya')
amal kebaikan—usaha mencari citra kesalehan di mata masyarakat. Dari sini kita
secara tak langsung menggeser maksud ibadah yang semestinya untuk Allah menjadi
untuk popularitas dan kebanggaan diri.
Media sosial juga kerap menjadi
arena caci-maki antarkelompok yang berbeda agama, aliran, pandangan politik,
dan sejenisnya. Tak jarang media sosial disesaki debat kusir saling
menjatuhkan, ghibah (gosip), fitnah, berita bohong, hingga
peningkatan jumlah musuh-musuh baru. Hanya berbekal jari tangan dan pikiran
keruh dalam sekejam kita sudah membuat mudarat bagi pihak lain. Padahal dalam
hadits shahih disebutkan bahwa di antara karakter seorang Muslim adalah mampu
menjamin saudaranya dari malapetaka tangan dan lisannya.
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang Muslim adalah orang yang
tidak melukai saudara Muslim lainnya baik dengan lisan dan tangannya,
Imam Abu Hamid bin Muhammad
al-Ghazali dalam kitab Bidâyatul Hidâyah menjelaskan bahwa lisan manusia
terdiri dari dua jenis, yakni lidah yang berada di dalam mulut dan lidah berupa
qalam (pena). Tulisan memiliki fungsi yang mirip dengan pembicaraan. Qalam
dalam konteks hari ini bisa diidentikkan dengan media sosial yang memiliki
peran yang sama, yakni memproduksi tulisan yang pengaruhnya bisa negatif maupun
positif. Dengan demikian, sikap bijak kita terhadap media sosial termasuk
ikhtiar kita untuk menjadi Muslim yang baik sebagaimana hadits di atas.
Yang paling rentan dilupakan saat
bermedia sosial adalah betapa berharganya waktu. Berbagai kemudahan yang
disediakan sering membuat pengguna berselancar berjam-jam melewati batas
kebutuhan semestinya. Orang kadang tak hanya bertegur sapa dengan sesama atau
publikasi aktivitas di medsos, tapi juga sampai pada kegiatan-kegiatan mubazir
bahkan maksiat.
Saat seseorang terlalu tergantung
pada media sosial, pertanyaan penting yang perlu disodorkan adalah siapa yang
sesungguhnya lebih berkuasa: media sosial atau manusianya? Manusia dianugerahi
akal sehat, hati nurani, yang memungkinkan dia berlaku bijaksana. Sebagaimana
perangkat dunia lainnya, tak seharusnya manusia diperbudak media sosial, justru
semestinya ia mengendalikannya.
Sebagai wasîlah,
media sosial juga merupakan perantara bagi banyak sekali hal baik. Melalui
media sosial, seseorang dengan mudah bersilaturahim dengan orang lain yang di
dunia nyata terkendala jarak geografis. Media sosial punya fungsi mempersatukan
yang semula terpisah, memberi ruang komunikasi yang semula tanpa kabar.
Fungsi positif lain dari media
sosial adalah menjadi alat yang bagus untuk mendistribusikan pesan kebaikan
secara luas dengan mudah. Kita dengan mudah membagikan informasi, misalnya,
soal cara mendidik buah hati, tips hidup sehat, atau wawasan bermanfaat lain,
hingga menjadikan media sosial sebagai media syiar yang memberi pendidikan
kepada publik tentang nilai-nilai Islam yang mencerahkan, rahmatan lil ‘alamin.
Surat al Maidah ayat 35
menyebutkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا
إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah wasîlah yang
mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian
mendapat keberuntungan".
Wasîlah dalam konteks
ini bisa kita perluas pengertiannya mencakup berbagai jalan, mekanisme, atau
sarana yang bermanfaat bagi kebaikan, terutama untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah subhânahu wata‘alâ. Jika media sosial adalah wasîlah,
maka ghâyah-nya adalah Allah subhânahu wata‘âlâ.
Sekali lagi, fungsi positif media
sosial tersebut bisa maksimal kita realisasikan ketika kitalah yang benar-benar
menguasai media sosial, bukan dikuasai. Medsos hanya menjadi elemen sekunder
bagi aktivitas kebaikan, bukan sebaliknya medsos mendorong kita untuk terperosok
pada perbuatan sia-sia, atau bahkan merugikan.
Melalui paparan ini, bisa
disimpulkan bahwa setidaknya ada dua sikap dalam merespon kehadiran media
sosial. Pertama, menyadari betul bahwa ia tak lebih dari sebatas wasîlah,
perantaran atau alat. Kesadaran ini akan mendorong kita untuk tidak terbuai
dengan medsos itu sendiri, melainkan pada apa tujuan pokok penggunaan perangkat
dunia maya ini.
Kedua, menjadiannya sebagai
sarana yang tak hanya baik tapi juga bermanfaat. Tak menimbulkan kemudaratan
kepada pihak lain melalui media sosial adalah sesuatu yang baik. Tapi akan
lebih baik lagi bila media sosial memberikan faedah bagi orang lain lewat
konten-konten yang kita suguhkan. Bukankah “khairunnâs anfa‘uhum lin nâs”
(sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya).
Semoga kita semua teguh dalam
iman dan Islam, sehingga mampu mendudukkan diri secara proporsional dan menebar
kemanfaat bagi manusia dan alam sekitar.
Wallahu a’lam.