Konsep islam tentang kepemimpinan sebenarnya sudah ideal.
Contoh paling ideal pemimpin islam tentu saja Nabi Muhamad Saw. Ia merupakan
seorang yang memimpin dengan hati. “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS
Al-Ahzab:21).
Konsep wakil rakyat yang kita kenal di Indonesia tentu saja
merupakan bagian dari kepemimpinan yang islam. Namun, belakangan, akibat
perilaku dari sebagian wakil rakyat, kata ini berubah menjadi kebodohan belaka.
Apakah hal itu merupakan bagian dari islam? Lalu, bagaimana sifat seorang wakil
rakyat yang ideal menurut islam?
Islam mengenal empat sifat yang mutlak dimiliki oleh seorang
pemimpin (wakil rakyat). Sifat ini menjadi sebuah keharusan untuk membentuk
tatanan masyarakat. Jika salah satu dari keempatnya hilang, maka bisa
dipastikan akan terjadi kekacauan. Korbannya, lagi-lagi, adalah masyarakat.
Empat sifat itu adalah, pertama, Shidiq. Makna sederhananya
adalah kejujuran. Hal ini merupakan sikap utama yang harus dimiliki seorang
wakil rakyat. Tapi, bukan sekadar jujur. Shidiq ini memiliki arti yang lebih luas
lagi, yakni sebuah sikap dalam menjalankan segala tugas dengan asas keterbukaan
informasi (akuntabilitas) dan tanpa kecurangan.
Lawan dari sikap ini adalah kebohongan. Bayangkan saja,
bagaimana jika seorang wakil rakyat terbiasa berbohong? Bagaimana sebuah negara
ingin sejahtera dan maju jika pemimpinnya suka berbohong dan kerapkali menutupi
fakta yang harus diketahui masyarakat, serta memutarbalikannya seenak sendiri?
Untuk itulah, islam sudah selayaknya menempatkan sifat ini
posisi pertama yang harus dimiliki seorang wakil rakyat.
Kedua adalah Amanah. Artinya, adalah kemampuan untuk menjaga
segala sesuatu yang dipercayakan. Tentu kita sering mendengar, bahwa
kepemimpinan merupakan sebuah amanah. Hal ini memiliki makna yang besar, bahwa
menjadi wakil rakyat ia harus dituntut untuk selalu bertanggung jawab. Tanggung
jawab ini bukan hanya kepada rakyat yang mengutusnya, tapi juga tanggung jawab
kepada Allah Swt.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)
Ketiga adalah Fathonah. Makna sederhananya adalah cerdas.
Dalam islam, seorang pemimpin haruslah seorang yang cerdas. Cerdas ini bukan
sekadar urusan intelektual belaka, lebih itu, seorang wakil rakyat dituntut
untuk handal dan taktis dalam menghadapi segala persoalan yang terjadi di
masyarakat. Bukan malah menjadi corong segala kerusakan atau malah jadi
penghasut di tengah masyarakat.
Keempat, Tabligh. Sederhananya, sifat ini adalah penyampai
yang baik. Banyak juga yang memaknainya sebagai komunikasi. Tapi, kita dapat mengartikan
sifat ini sebagai bentuk penyampaian secara jujur, sekaligus bertanggung jawab
atas segala tindakan yang diambilnya (transparansi). Kata ini sering
diperlawankan dengan menutupi atau melindungi kesalahan.
Seorang wakil rakyat tentu tidak boleh menutupi kesalahan
yang ia perbuat, apalagi menutupinya. Inilah yang disebut pemimpin dzolim dalam
islam. “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada
manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab
yang pedih” [QS. Asy-Syuuraa : 42].
Jadi, jika ada seorang pemimpin telah melanggar aturan di
atas, tidak memegang prinsip akuntabilitas, kerap memutarbalikkan fakta dan
membohongi masarakat dengan kekuasaaan yang ia miliki, apakah orang tersebut
layak disebut wakil rakyat?
Dalam islam, kita bisa menjawabnya: tidak.